JAKARTA (Arrahmah.id) – Serangan siber yang belakangan ini mengguncang fondasi keamanan digital nasional, mencatat titik baru dalam catatan kejahatan siber di Indonesia.
Pakar TI sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, mengungkapkan urgensi tindakan pemerintah dalam menghadapi eskalasi serangan yang telah merembet hingga ke Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI dan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
Dalam situasi kritis ini, data-data strategis dan sensitif milik negara tampaknya tidak luput dari incaran peretas.
“Ini bukan hanya tentang kebocoran sembarangan, melainkan tentang keamanan nasional yang terancam,” kata Heru, Selasa (25/6/2024), lansir Inilah.com.
Menurutnya, bocornya data-data ini seperti menampar wajah pemerintah yang seharusnya menjaga kedaulatan data rakyatnya.
Pada Kamis (20/6), Pusat Data Nasional mengalami gangguan atau down. Gangguan yang diduga berasal dari serangan ransomware peretas ini berdampak pada layanan publik yang terintegrasi seperti layanan Imigrasi.
Di balik serangan itu, peretas meminta uang tebusan US$8 juta atau sekitar Rp131 miliar untuk memulihkan sistem yang dibobolnya. Permintaan uang tebusan ini diungkapkan oleh Direktur Network dan IT Solution Telkom Sigma Herlan Wijanarko.
“Memang di situs web itu kita ada jalannya ke sana, biar kami ikuti dan mereka minta tebusan ada US$ 8 juta,” kata Herlan.
Selanjutnya pada Sabtu (23/6/2024) kebocoran data dari sistem Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) Polri terungkap di forum peretas, dan hanya beberapa hari berselang, dugaan serangan ke BAIS TNI mencuat ke publik.
Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Nugraha Gumilar membenarkan bahwa tim Siber TNI sedang melakukan pengecekan mendalam terhadap kebenaran informasi ini.
“Kami sedang menghadapi serangan yang terkoordinasi dan sangat canggih, yang menunjukkan bahwa pelaku bukan amatiran,” tambah Nugraha.
Kerawanan ini tidak hanya mengancam integritas data pribadi warga, tapi juga berpotensi mengganggu infrastruktur kritikal negara.
Menurut Heru, sebagai respons dari serangkaian peristiwa ini, pemerintah harus lebih transparan dan proaktif.
“Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang ITE harus ditegakkan bukan hanya kepada masyarakat umum, tapi juga ke seluruh instansi pemerintah,” tegasnya.
Heru juga menyerukan agar pemerintah melibatkan lebih banyak sumber daya untuk memerangi kejahatan siber, termasuk mungkin pengerahan sumber daya militer seperti yang dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi serangan siber.
Di tengah desakan publik ini, Heru Sutadi meminta Presiden Joko Widodo untuk secara pribadi turun tangan.
“Ini saatnya pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam melindungi data dan infrastruktur digital negara,” terangnya.
Heru menegaskan, serangan yang berulang ini seharusnya menjadi wake-up call untuk reformasi besar-besaran dalam pengelolaan dan keamanan siber nasional.
(ameera/arrahmah.id)