JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Agama Suryadharma Ali membantah Peraturan Bersama Dua Menteri (PBM) mengenai rumah ibadah diskriminatif. Suryadharma melansir data pertambahan masjid yang lebih rendah persentasenya dibanding gereja.
“Data pembangunan rumah ibadah dari tahun 1977 sampai dengan 2004, pembangunan yang paling rendah itu masjid,” kata Suryadharma. “Dari 392.044 menjadi 643.834 buah. Kenaikannya hanya 64,22 persen,” katanya di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/9/2010)
Sementara pertambahan Gereja Kristen, kata Suryadharma, dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah atau naik 131,38 persen. Gereja Katolik dari 4.934 menjadi 12.473, naik 152,8 persen. Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 atau naik 475,25 persen. Wihara Buddha dari 1.523 menjadi 7.129, naik 368,09 persen.
“Dilihat dari data ini, peraturan bersama menteri itu bukanlah peraturan yang diskriminatif. Jadi tolong jangan sampai ada pandangan yang seperti itu,” kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu. “Data ini menunjukkan masjid yang paling rendah.”
Bahkan, Suryadharma menyatakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sebaiknya diangkat menjadi undang-undang oleh DPR. Dengan begitu, kata Suryadharma, bisa menjadi landasan yang lebih kokoh.
“Yang pasti Komisi VIII tadi memandang penting peraturan bersama menteri itu dan supaya ada kekuatan hukum yang lebih kuat maka sebaiknya itu ditingkatkan menjadi undang-undang,” kata Suryadharma yang baru saja rapat dari Komisi DPR yang membidangi agama itu. “Ini nanti kami bahas bersama-sama.”
Namun, ketika diangkat jadi undang-undang, Suryadharma berharap substansinya tak banyak berubah. SKB, kata Suryadharma, bukan peraturan sepihak dari pemerintah semata. SKB adalah peraturan yang dibuat berdasarkan musyawarah, dialog, dan keputusan antara majelis-majelis agama.
Dengan demikian, Suryadharma menegaskan kembali bahwa insiden penusukan Jemaat HKBP di Ciketing, Bekasi, bukanlah persoalan konflik antar agama, tetapi persoalan kepatuhan terhadap peraturan yang mengatur tentang rumah ibadah.
“Harus ada aturan, harus ada koridor. Jadi jangan berpikiran bahwa kebebasan beragama itu artinya kebebasan yang semutlak-mutlaknya. Kalau semutlak-mutlaknya, itu artinya memang tidak diperlukan lagi aturan,” kata Suryadharma dikutip viva news.
Surga Kebebasan Beragama
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai Indonesia sebagai surga kebebasan beribadah bagi umat beragama. Karena itu MUI menyayangkan adanya pihak-pihak yang memprovokasi insiden di Ciketing, Bekasi sehingga mencederai kehidupan kerukunan umat beragama.
Hal itu dikemukakan Sekjen (MUI) Drs HM. Ichwan Sam kepada wartawan di kantor MUI Jl Proklamasi No. 51 Jakarta, Kamis (23/9) menyikapi insiden masyarakat dengan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) beberapa waktu lalu.
“Kita mengedepankan kerukunan umat beragama, karena itu isu ketidak-bebasan beribadah adalah sesuatu yang naif,” kata Ichwan
Ichwan juga mengatakan, secara konstitusional Indonesia sebagai bangsa yang telah memiliki peraturan perundangan-undangan, menjunjung tinggi nilai-nilai kebinekaan baik agama, suku maupun etnis.
Menjawab siapa aktor intelektual di belakang konflik tersebut, Ichwan menyatakan, pihaknya sudah menengarai dan meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus itu.
“Siapa orangnya yang jelas dia ingin memecah belah bangsa,” tandasnya. (viva/hdytlh/arrahmah.com)