(Arrahmah.com) – Ustadz Farid Achmad Okbah, MA, di dalam bukunya Fakta dan Data Perkembangan Syi’ah di Indonesia (September 2012) menyebutkan bahwa, setelah meletusnya revolusi Iran pada tahun 1979 M, paham Syi’ah Imamiyah (Syi’ah Itsna ‘Asyariyah) mulai masuk ke Indonesia. Diantara tokoh yang terpengaruh dengan paham Syi’ah adalah Husain al-Habsy, Direktur Pesantren Islam YAPI Bangil. Al-Habsy kemudian aktif menyebarkan ideologi Syi’ah dengan kemasan apik dan berslogan persatuan kaum muslimin.
Pada tahun 1980-an, al-Habsy mengirim sejumlah santrinya untuk belajar di Hauzah Ilmiyah di Qum, Iran. Sepulang dari Qum, para santri kemudian menyebarkan ajaran Syi’ah melalui sejumlah kegiatan, baik di bidang politik, pendidikan, media, sosial, ekonomi, maupun kesehatan.
Dalam bidang politik, mereka masuk ke partai-partai. Dalam bidang pendidikan mereka mendirikan sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dibidang media mereka mendirikan koran, majalah, televisi, penerbitan buku, selebaran, dsb. Dalam bidang sosial, mereka mempraktekkan nikah mut’ah. Dalam bidang ekonomi mereka membuka toko-toko, membeli angkutan-angkutan umum, dan aktif dalam dunia perdagangan secara umum. Dalam bidang medis, mereka membangun rumah sakit dan klinik pengobatan.
Pada tahun 1993, jati diri al-Habsy sebagai orang Syi’ah terkuak saat dia mengirimkan laporan kegiatan Syi’ah Indonesia ke Ayatullah di Iran dan saat itu 13 guru yang bermadzhab Ahlussunnah keluar dari pesantrennya.
Inilah gerakan Syi’ah, begitu terorgaisir dengan rapi. Adapun reaksi Ahlussunnah masih bersifat tidak konsisten. Jika ada keributan mereka bergerak, jika tidak ada, mereka hanya diam dan pasif, padahal Syi’ah semakin lama semakin berkembang.
Lebih dari 30 tahun sudah Syi’ah Rafidhah menyampaikan ajaran kafirnya di Indonesia. Kini kaum Râfidhah telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka secara terang-terangan. Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka dalam memberikan pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Beberapa diantaranya :
Pertama, mereka mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya, mereka telah berbohong atas nama ahlul bait. Kita tahu bahwa kaum muslimin, terutama di Indonesia sangat mencintai ahlul bait tetapi, kecintaan yang tidak berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait menyeret mereka kepada kemusyrikan seperti Syi’ah Rafidhah.
Kecintaan seperti ini bisa menyeret seseorang kepada kultus dan al-ghuluw (berlebih-lebihan). Hal inilah yang diinginkan Syi’ah. Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi’ah selalu dituduh benci kepada ahlul bait. Dan para pendahulu-pendahulu mereka seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah, Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka. Diantaranya adalah perayaaan maulid Nabi. Merekalah yang membuat acara ini pertama kali, bukan Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan maulid kepada Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.
Cinta ahlul bait adalah merupakan keyakinan Islam. Kita mencintai keluarga Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam sesuai dengan syariat Allâh dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, tidak mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Syi’ah.
Kedua, dalam memberikan pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir al-Qur’ân tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bahkan mereka menolak hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri, Muslim dan lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini dianggap kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk Bukhâri, Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu memulainya dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi’ah.
Melalui kajian tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh, karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka selalu membuka kajian tafsir al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih Bukhâri kecuali untuk di hina, di kritik dan selanjutnya di tolak.
Mereka mulai menafsirkan dengan perkataan, “ini untuk Ali radhiyallâhu’anhu dan siksaan ini untuk Abu Bakar radhiyallâhu’anhu,” dan lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallâhu’anhum, karena ketiga shahabat ini memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu.
Syi’ah menempuh cara-cara kaum zindiq yaitu meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam waktu yang bersamaan agar mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka meninggikan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu setinggi-tingginya sampai disamakan dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman radhiyallâhu’anhum dan hampir seluruh para sahabat Rasûlullâh dengan serendah-rendahnya.
Ketiga, mengkritik sebagian sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah radhiyallâhu’anhu kemudian yang lainnya sampai hampir seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini, di negeri kita mereka memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan secara terang-terangan. Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah Aisyah radhiyallâhu’anha dan para sahabat lainnya.
Mereka memasukan berbagai macam syubhat kepada kaum muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para sahabat menjadi yang betul-betul sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya dibawakan sebagian ayat-ayat al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang mengikuti majelis mereka terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi memakai ijmâ’ para ulama mengenai para shahabat, yaitu semua para sahabat adalah adil.
Keempat, mengkritik hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits dalam Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah satu sifat mereka, mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah.
Oleh karena itu ahlus sunnah menyatakan bahwa bantahan dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu adalah memberikan jawaban secara ilmiyah, membantah secara ilmiyah dengan menegakkan hujjah yang selanjutnya menyelesaikan permasalahan. Ini yang disebut ilmu. Adapun semata-mata menolak, mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu melakukannya.
Inipun mereka lakukan secara bertahap serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan menolak hadits-hadits riwayat Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada hadits yang menguatkan madzhab mereka, mereka memakainya padahal mereka telah mengkafirkan Imam Bukhâri dan Muslim !?
Kelima, memberikan kesan bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan perbedaan mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global tanpa ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini juga mempengaruhi kaum Muslimin.
Keenam, mendakwahkan ajaran yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali dengan mahar pemberian dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan wanita. Biasanya dilakukan selepas majelis mereka. Mereka mengikat perjanjian kontrak satu hari, dua hari dan seterusnya dan boleh untuk satu kali berhubungan saja (tidak ada bedanya dengan zina). Bahkan Khomaini di sebagian fatwanya membolehkan bermut’ah dengan pelacur !!!
Ketujuh, berusaha menjauhkan kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah ajaran yang mereka benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa ada penjelasan terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap ajaran dakwah atau yang berlawanan dengan Syi’ah dijauhi oleh kaum Muslimin.
Padahal sebenarnya, lafadz Wahabi disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâh. Lalu mereka memanfaatkannya untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.
Para ulama Ahlusunnah wal jama’ah telah menghukumi Syi’ah bukan termasuk bagian dari Islam. Hal ini disasarkan pada perbedaan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah Râfidhah adalah perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan furu’, yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya meninggalkan ajaran agamanya. Di antara perbedaan ushûl (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu :
Pertama; keyakinan mereka bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai kitabullâh yang diwahyukan kepada hambaNya dan RasulNya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam melalui perantara Malaikat jibril ‘alaihissalam , telah tidak asli lagi.
Menurut Syi’ah, al-Qur’ân telah dirubah, atau dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh tiga sahabat mulia yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya radhiyallâhu’anhum ajma’in. Keyakinan ini bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allâh Ta’âla telah berfirman :
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami pula yang selalu memeliharanya ” (Qs al Hijr/15:9)
Sedangkan ajaran Râfidhah yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar dan sangat berbeda dibandingkan al-Qur’ân yang ada ditangan kaum muslimin saat ini. Menurut mereka Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh Imam Mahdi dan dinamakan Mushaf Fathimah.
Ini keyakinan mereka, walaupun sebagian mereka mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong kosong karena ini merupakan taqiyah mereka. Kalau keyakinan ini diyakini oleh kaum muslimin maka tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari agama Islam.
Kedua; Pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat ridwanallaahu alaihim jami’an, seperti Abu Bakar as-Shiddîq radhiyallâhu’anhu, Umar al-Fârûq radhiyallâhu’anhu, Utsmân Dzunnûrain radhiyallâhu’anhu dan seluruh sahabat Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallamkecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat sedikit.
Ketiga, penyembahan terhadap manusia. Diantara orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan kubah-kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain Allâh Ta’âla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik besar.
Syi’ah Rafidhah menamakan perjuangan mereka perjuangan Islam untuk menegakan Daulah Islamiyah. Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.Ini membuat rancu dan absurd terhadap saudara-saudara muslim yang sungguh-sungguh memeperjuangkan syariat Alah di bumi Indonesia.
Mereka hendak menyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran Syi’ah ini dan ditegakkan oleh mereka.
Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah: Kitab Hukumâtul Islamiyah, Kitab Tahrîrul Wasîlah, Kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar.
Dalam tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah (dusta) menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya dua hal yang sangat mendasar yaitu:
-
Tidak ada hukum kecuali hukum Syi’ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Râfidhah.
-
Tidak ada negeri Islam kecuali yang ditegakkan oleh mereka.
(azmuttaqin, dbbs/arrahmah.com)