(Arrahmah.com) – Presiden Jokowi menyatakan bahwa Darurat Sipil penting diterapkan guna memperkuat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kita ketahui bahwa PSBB adalah salah satu respon terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Selain PSBB terdapat juga pendekatan Karantina, baik di dalam rumah (isolasi diri), di Rumah Sakit dan di level wilayah.
Pendekatan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat berbeda dengan Kedaruratan Negara. Secara prinsip, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat menunjuk adanya faktor risiko kesehatan masyarakat (in case epidemik virus Corona). Dengan demikian, kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah kepentingan masyarakat (sociale belangen).
Pada Kedaruratan Negara penerapan hukumnya mempersyaratkan harus adanya ancaman terhadap keselamatan negara dari tindakan pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam. Secara jelas, UU Keadaan Bahaya tidak memberikan peluang bencana non-alam seperti virus Corona sebagai dalil penetapan Kedaruratan Negara. Oleh karenanya, kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah kepentingan negara (state belangen).
Permasalahannya, ketika PSBB ternyata tidak mampu menanggulangi virus Corona dan kemudian Presiden menyatakan Darurat Sipil, maka dapat dipastikan akan terjadi ketidakpastian hukum. Perlu diketahui bahwa Darurat Sipil adalah sebagai pintu masuk (entry point) Darurat Militer atau Keadaan (Darurat) Perang. Jika ternyata keberlakuan Darurat Sipil tidak pula mampu menanggulangi virus Corona, maka tidak mungkin status Darurat Sipil tersebut dicabut. Menurut UU Keadaan Bahaya status Darurat Sipil harus ditingkatkan menjadi Darurat Militer. Ditegaskan lagi, kondisi ini tidak memungkinkan, sebab virus Corona bukan bagian unsur Keadaan Bahaya. Jika pun tidak dicabut dan berlangsung terus status tersebut, pertanyaannya sampai berapa lama? Disini timbul dilema dan ketidakpastian.
Lebih lanjut, kita asumsikan lagi ketika Presiden selanjutnya mengumumkan Darurat Militer. Namun, lagi-lagi tetap tidak merubah keadaan. Pertanyaan yang sama, status Darurat Militer tersebut berlangsung sampai kapan?
Kemudian, seandainya Presiden mendeklarasikan Darurat Perang sebagai tindak lanjut Darurat Militer, memunculkan pertanyaan penting, bagaimana dan dengan cara apa pasukan militer berperang? dan dimana medan perangnya?. Pertanyaan lebih penting lagi, siapa sebenarnya musuh kita dan oleh karenanya kita perangi?.
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Direktur HRS Center