(Arrahmah.com) – Pelacuran di Indonesia sudah demikian mengkhawatirkan. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan persoalan praktik prostitusi perlu solusi untuk penyelesaiannya. Ia menuturkan, praktik pelacuran merupakan persoalan di semua negara yang di dalamnya terdapat empat persoalan mendasar, yaitu tindak perbudakan, kriminalitas, eksploitasi, dan perdagangan manusia. Menurutnya, pelacuran dan pornografi sudah paralel dan saling terkait karena di situ ada hubungan seksual sedarah atau incest, pedofilia, serta paket wisata yang mengandung unsur pornoaksi dan pornografi. Termasuk pelacuran online yang merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai modus dari sekian banyak cara yang digunakan para mucikari untuk menjalankan bisnisnya.
Menurut Khofifah, menghadapi persoalan pelacuran dan pornografi dibutuhkan penegakan hukum yang lebih tegas agar bisa lebih signifikan dalam upaya preventif. Ia menambahkan, upaya pemerintah yang akan dilakukan yakni membentuk satuan tugas (satgas) dengan komandan dari Kementerian Agama dan disinergikan dengan kementerian terkait seperti Kemensos, Kominfo, Kejaksaan, dan Kepolisian. Bahkan, Kemensos juga sudah menggelar rapat internal dengan pokok bahasan terkait pelacuran dan gelandangan pengemis yang dihadiri 168 kabupaten/kota dari 22 provinsi.
Khofifah sendiri menganalisis bahwa akar masalah dari maraknya pelacuran online adalah akibat problem moral dan karakter. Dikatakannya bahwa prostitusi ini sudah semacam lifestyle, ada problem moral, karakter, bukan hanya problem ekonomi.
Sementara Gubernur DKI Jakarta Ahok mewacanakan program lokalisasi pelacuran. Gagasan Ahok sendiri banyak mendapat pertentangan dari berbagai kalangan masyarakat.
Perzinaan adalah perilaku terlarang menurut pandangan agama dan norma manapun. Dan setiap yang bertentangan dengan agama hanya akan melahirkan bahaya dan kerusakan. Oleh karena itu membuka peluang terjadinya pelacuran dengan membuka lokalisasi bagi perzinaan dan hanya mengurangi risiko kriminalitas dan penyakit semacam HIV/AIDS atau bahkan menganggapnya sebagai bagian dari perwujudan Hak Asasi (HAM) hanya akan memarakkan kemaksiatan dan melahirkan berbagai persoalan baru.
Indonesia darurat gaya hidup liberal yang lahir akibat diadopsinya sistem demokrasi yang menuhankan kebebasan perilaku. Darurat pelacuran dengan beragam modelnya, darurat narkoba dan miras adalah buah busuk sistem ini. Gaya hidup liberal yakni lepas dari tuntunan agama semakin mewarnai kehidupan masyarakat. Rendahnya ketakwaan dan tuntutan gaya hidup konsumtif lagi mewah adalah pendorong langsung maraknya prostitusi. Meski faktor kemiskinan juga seringkali menjadi alasan.
Pemerintah Indonesia harus tegas dalam memberi sanksi pada pelaku perbuatan kemaksiatan yang merusak moral bangsa, terutama bagi generasi muda penerus bangsa ini.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah, adalah dengan menghukum seluruh pelaku perzinaan seperti germo atau mucikari. Kemudian menghukum wanita tuna susila (WTS) serta pemakai jasa WTS. Hukuman di dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kali jika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di akhirat ia disiksa di neraka. Bagi wanita pezina, di neraka ia disiksa dalam keadaan tergantung pada payudaranya.
Langkah kedua yang perlu dilakukan pemerintah, adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang seringkali menjadi alasan bagi WTS untuk memilih jalan pintas dengan menjual diri untuk mendapatkan penghasilan. Akan tetapi jauh tidak kalah penting adalah melakukan pendidikan untuk membekali ketakwaan bagi kalangan tidak mampu yang rentan untuk dimanfaatkan untuk bisnis prostitusi. Pendidikan bermutu dan bebas biaya harus memberikan bekal ketakwaan selain kepandaian dan keahlian pada setiap orang agar mampu bekerja dan berkarya dengan cara yang baik dan halal. Pendidikan juga menanamkan nilai dasar tentang benar dan salah serta standar-standar hidup yang boleh diambil dan tidak. Alasan WTS yang kembali ke tempat pelacuran setelah mendapat pembinaan ketrampilan karena lebih sulit mendapat uang dari hasil menjahit dibanding melacur tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang standar benar dan salah.
Bila sudah dibekali ilmu dan juga keterampilan untuk menghasilkan karya, maka tentu mereka akan memilih untuk mencari nafkah dengan cara halal dari pada terjebak di lembah kelam pelacuran. Selain itu perlunya ada reaksi tegas dari lingkungan masyarakat agar tidak mau menerima keberadaan perbuatan maksiat. Tidak boleh dibiarkan bisnis berjalan berdasar hukum permintaan dan penawaran belaka tanpa pijakan benar dan salah sesuai syariat. Negara tidak hanya harus menutup semua lokalisasi, menghapus situs pelacuran online tapi juga melarang semua produksi yang memicu seks bebas seperti pornografi lewat berbagai media.
Pembinaan untuk membentuk keluarga yang harmonis merupakan penyelesaian jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian pemerintah. Hal lain adalah pembentukan lingkungan sosial agar masyarakat tidak permisif terhadap kemaksiatan sehingga pelaku pelacuran akan mendapat sanksi dan kontrol sosial dari lingkungan sekitar.
Seluruh masyarakat sesungguhnya membutuhkan negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dan negara yang mampu menerapkan syariat Islam ini dalam bentuk Khilafah Islamiyah.
Penulis: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten
(*/arrahmah.com)