(Arrahmah.com) – “Bagaimana pun keadaannya, orang yang tangannya di atas selalu lebih unggul dari orang yang tangannya di bawah.”
“Saya sungguh bahagia!”
Ada rasa yang bergemuruh dalam dada Aji Wira, pengungsi asal Dusun Jorong Desa Sembalun Bumbung Kabupaten Lombok Timur.
Apa gerangan yang membuat seorang pengungsi korban gempa Lombok begitu bahagia?
“Saya bahagia karena bisa berbagi,” kata pria paruh baya itu. Matanya berkaca-kaca ketika membopong sekarung wortel hasil panennya untuk dibagikan kepada para pengungsi – juga -di daerah Gangga, Kabupaten Lombok Utara.
Sudah beberapa hari ini – seminggu pasca Gempa 7 magnitudo melanda Lombok Agustus 2018 – , para pengungsi di Desa Sembalun Bumbung Lombok Timur justru tergerak hatinya turut membantu para pengungsi korban gempa lainnya di Lombok Utara.
“Rumah saya rata dengan tanah Pak,” Aji Wira mengenangkan. Para pengungsi di hadapan Pak Aji, sapaan karibnya, tak kuasa mengucapkan apa pun.
Mereka berdecak kagum, bagaimana mungkin seorang yang rumahnya luluh lantak malah turut membantu para korban lainnya?
Para pengungsi ini saling berpelukan dan saling berbisik untuk saling mendoakan. “Terima kasih, kami terharu,” kata pria bersarung datang memeluk Aji Wira.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari empat jam, seakan ‘penderitaan’ Pak Aji sirna setelah melihat wajah saudaranya yang juga senasib.
Senyum sumringah tak hanya merekah dari wajah Pak Aji. Masih ada ribuan pengungsi di Desa Sembalun Lombok Timur, yang justru kini merasakan kebahagiaan yang dirasakan Pak Aji.
Padahal, seluruh penduduk Sembalun Bumbung kini mengungsi. Pak Oza, tokoh masyarakat Sembalun mengatakan gerakan berbagi ini berawal dari masjid. Masjid sederhana yang dibangun seminggu usai gempa besar kedua melanda Lombok.
“Kami sempat shalat Jumat di sawah,” katanya. Tepatnya di tengah sawah yang dibabat menjadi lapangan. Warga Jorong, Sembalun Bumbung, Lombok Timur, tidak berani kembali ke masjid-masjid mereka, yang retak dan separuh doyong.
Waktu itu, hanya langit yang menaungi mereka.
Jangan tanya panasnya terik yang langsung menyengat kulit mereka. Lebih dari cukup bagi mereka shalat berjamaah dengan nyaman.
“Alhamdulillah, berkisar dua minggu setelah mereka mengungsi karena gempa (pertama), datang kawan-kawan lembaga Sinergi Foundation bersama warga mendirikan masjid,” kata Oza.
Masjid darurat Jorong Sembalun, warga menyebutnya. Bangunan sederhana beratap terpal berwarna jingga itu sekilas tampak seperti tenda – tenda pengungsian lainnya. Tiang penyangganya berbahan bambu, diikat dengan bambu pula.
Siapa sangka, di bawah terpal itu, kalam suci mengalun merdu. Di kaki gunung Rinjani, suara azan itu mengalun merdu. Di bangunan sederhana itu, para pengungsi itu berdiri, rukuk, dan sujud. Bangunan sederhana ini lebih dari cukup bagi mereka shalat berjamaah dengan nyaman.
Masjid ini berdiri tegak; tanpa menara; tanpa pelantang; tanpa beton bertulang yang justru luluh lantak menantang gempa. Dari bawah bungkusan terpal ini, warga memupuk harapan.
Adalah relawan Sinergi Foundation saat itu, ustaz Maftuh Supriadi yang disebut Oza menginspirasi warga agar optimis dan bangkit.
“Gerakan berbagi ini diinisiasi bersama dari Masjid sederhana ramah gempa ini,” kata Oza.
Ia mengatakan bahwa masjid ini dibuat bersama-sama dan ‘dikebut’ hanya setengah hari, sehingga shalat Jumat kini bisa digelar di masjid.
Pada shalat Jumat pertama – setelah ada masjid- ini pula, ustaz Maftuh didaulat warga menjadi khatib. Kesempatan ini dimanfaatkan sang ustaz untuk terus menguatkan tauhid, bahwa semua yang terjadi merupakan rencana Allah, Sang Maha Pengasih.
“Saya ingin warga Sembalun Lombok Timur, bangkit dan tidak terus menerus berkabung dengan musibah gempa,” kenang ustaz Maftuh.
“Makanya saat ceramah, beberapa kali saya sampaikan kisah Abdurrahman bin Auf yang saat hijrah dalam keadaan miskin dan kelaparan. Kendati demikian, ia tetap bersemangat kerja dan bersedekah meski dalam kondisi sulit,” tambahnya.
Ceramah ustaz Maftuh ini, kata Oza, justru tak disangka membuat warga begitu terharu. Esok harinya, warga berdatangan ke masjid darurat membawa hasil bumi; sayur; bawang; tomat; selada; strawberi; dan sebagainya.
“Mereka semangat memberikan bantuan untuk saudara kita di Lombok Utara, yang terdampak gempa lebih parah. Mereka mendermakan 45 ton sayuran hasil tani mereka,” kenang Oza.
Tak ada yang menyangka, dari bawah masjid sederhana berlapis terpal ini, ruang solidaritas terus mengalir. Satu per satu warga kembali tersenyum ceria. “Bahwa memang kami sedang susah, tapi masih banyak warga yang rupanya masih membutuhkan bantuan kita,” kata Aji Wira.
Di Sembalun Bumbung sendiri, hingga hari ini (18/8/2018), lebih dari 50 ton sayuran hasil bumi dari desa Sembalun disumbangkan untuk korban gempa di Lombok Utara, termasuk oleh sahabat kita tadi, Pak Aji Wira.
Koordinator Lapangan relawan Sinergi Foundation, Eggie Ginanjar mengatakan bahwa dirinya bersama warga Sembalun kini akan membangun masjid yang lebih layak sebagai pusat aktivitas warga: belajar, musyawarah, trauma healing, tausiyah, dll.
“Insya Allah dari masjid, Lombok bangkit, Sembalun telah mengajarkan kita,” pungkas Eggie.
Reporter: Rizki Lesus / INA
(ameera/arrahmah.com)