Mohammad Faris di Suriah adalah seorang pahlawan nasional, yang mana sebuah sekolah, bandara dan jalan bernamakan nama dirinya. Di kantornya di Istanbul, ratusan mil dari kota kelahirannya, Aleppo, sekarang ia berkampanye untuk perubahan di Suriah.
Terpilih dari salah satu dari empat dalam 60 kandidat Suriah di Yuri Gagarin Cosmonaut Training Centre dan Faris adalah satu-satunya dari golongan Sunni yang terseleksi, menjadi delegasi Hafez Asad.
Saat mengingat masa-masanya di ruang angkasa, “Tujuh hari 23 jam dan lima menit itu mengubah hidup saya,” ujar Faris, dikutip The Guardian. Bersama dengan para astronit Rusia ia membawa penelitian ilmiah dan memfoto Suriah dari luar angkasa. “Saat anda melihat seluruh dunia melalui jendelamu, tidak ada kita dan mereka, tidak ada politik.”
Saat di ruang angkasa, Faris memutuskan untuk keluar dari militer dan membuat tujuan untuk mengedukasi rakyatnya dalam hal ilmu pengetahuan dan astronomi.
Kemudian Faris meminta presiden untuk mendanai institusi ilmu pengetahuan luar angkasa nasional untuk membantu warga Suriah lainnya untuk mengikuti jejaknya menginjakkan kaki di angkasa. Namun jawaban yang ia dapatkan adalah “tidak”.
“Dia [Hafez Asad] ingin agar rakyatnya tetap tidak berpendidikan dan terpecah belah, dengan pemahaman yang terbatas,” kata Faris. “Begitulah para diktator tetap berkuasa. Sangat berpikiran bahwa memberikan rakyat visi bahwa institusi ilmu pengetahuan ruang angkasa adalah berbahaya.” Sebaliknya, Faris diberikan posisi di kampus angkatan udara, mengajar ratusan pemuda untuk menerbangkan pesawat jet. Hafez Asad mungkin disebut “Top Gun” tetapi Faris mengatakan bahwa kekuasannya adalah “kekuasaan kosong”.
Saat ia menjadi kepala akademi angkatan udara Suriah, ia menjadi seorang penasehat militer, berharap ia bisa masuk akademi pada 2011. Namun pada saat itu, Arab Spring tersebar di seluruh wilayah.
“Saat protes dimulai, tidak ada apa-apa selain kedamaian, selama berbulan-bulan.” Faris mengatakan ia dan istrinya bergabung dalam demonstrasi, berkumpul di Damaskus, dan menyerukan perubahan yang damai. Mereka diancam pleh para pendukung rezim Asad karena berdemo tetapi mereka tidak berhenti.
“Ini adalah rakyat saya, semuanya adalah rakyat saya, rakyat kita,” katanya. Faris dan istrinya mendiskusikan protes itu secara langsung dengan para pemimpin, menyeru kepada mereka untuk membuat perubahan yang berani, ” tetapi mereka [Asad] menganggap diri mereka adalah Tuhan.
Menyaksikan perang di Suriah yang semakin rumit, ia dan keluarganya diam-diam melarikan diri, memberanikan diri menyeberang perbatasan Turki bersama istri dan ketiga anaknya.
Tiba di Istanbul, ia diterima dan dihormati. Hal itu nampak dari kantornya di Istanbul yang dihiasi dengan medali dan hingga saat ini ia menerima undangan dari Rusia untuk menghadiri konferensi tetapi ia menolak hingga kondisi tertentu kembali seperti semula.
“Mereka harus menghentikan kekerasan mereka. Masalahnya adalah Saya memahami cara mereka berpikir, sayangnya, Saya tidak bisa jadi teman mereka.”
Saat ini ia menjadi penasehat bagi pemerintah Turki tentang hak-hak pengungsi Suriah.
Dia juga telah menolak tawaran dari LSM Eropa untuk membantu dengan aplikasi suaka yang juga menyindirnya apakah ia akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. “Mereka tidak turun tangan saat mereka dibutuhkan,” katanya, mengacu pada pemerintah Eropa dan AS, “dan mereka menentang cita-cita saya, jadi Saya tidak bisa tinggal di sana.”
Meskipun demikian, ia tetap berharap banyak akan perubahan Suriah yang lebih baik. (siraaj/arrahmah.com)