Menyaksikan pemberitaan di televisi dan media massa cetak mengenai keputusan Obama untuk menutup Penjara Guantanamo tidak ditanggapi dengan gembira oleh Mohammad Saad Iqbal.
Hal itu mengingatkannya tentang hari-hari yang menyakitkan, bertahan di pusat tahanan dunia yang terkenal dengan kekejamannya dan bagaimana orang-orang yang tidak memiliki kesalahan apapun harus melalui hari-hari yang panjang dalam penyiksaan di sana.
AS telah memenjarakan ratusan orang dalam tahanan yang seperti neraka yang dibuka sejak 2002 silam, mereka diberikan cap oleh AS sebagai musuh yang harus diberi hukuman di bawah sistem hukum AS.
Obama memerintahkan penutupan Guantanamo pada minggu lalu, dia memberikan waktu satu tahun untuk mengurus segala prosedur. Di Guantanamo terdapat sedikitnya 245 tahanan yang telah bertahun-tahun tidak mendapatkan kepastian apa-apa, hanya mengalami penyiksaan demi penyiksaan setiap harinya. Obama meminta dari ratusan kasus tersebut harus secepatnya diselesaikan, apakah mereka dikeluarkan begitu saja, dipindahkan ke penjara lain atau diadili.
Ia kembali ke asalnya di Lahore pada Agustus silam setelah selama kurang lebih enam tahun hidupnya berada dalam ketidakjelasan. Di bawah perintah AS, dirinya dipindahkan dari Indonesia, Mesir, Afghanistan dan terakhir ia mengalami masa-masa buruk selama lima tahun di Guantanamo.
Hingga kini, Iqbal tidak mengetahui atas alasan apa dirinya mendapat perlakuan semacam itu.
“Penutupan Guantanamo tidaklah cukup.”
“Bagaimana dengan mereka yang telah kehilangan ribuan harinya dari hidup mereka hanya karena dasar kecurigaan.”
Iqbal menceritakan kembali kenangan pahitnya dengan nada getir.
“Saat itu 9 Januari 2009,” ia mencoba mengingat.
Dosen muda jurusan Studi Islam dan Al-Qur’an di salah satu perguruan tinggi di Pakistan, tengah mengunjungi Ibu tirinya di Jakarta ketika ia diculik oleh agen-agen intelijen Indonesia yang bertindak atas perintah AS.
“Di hari berikutnya, mereka menyerahkan aku ke agen-agen CIA dan orang-orang Mesir di bandara. Dengan tangan terborgol ke belakang dan mata tertutup, mereka memindahkanku ke Kairo.”
Di Kairo, Iqbal ditahan di sel bawah tanah selama kurang lebih 92 hari, selama itu pula ia diinterogasi mengenai siapa orang-orang yang ditargetkan Usamah bin Ladin.
“Mereka menelanjangi tubuhku dan aku dipaksa berjalan seperti binatang.”
“Mereka terus menanyakan kapan terakhir ke Afgahnistan? Dimana bertemu dengan Usamah? Apa rencana-rencana ke depan Al-Qaeda?”
“Aku telah mengatakan kepada mereka berulang kali bahwa aku tidak pernah ke Afghanistan, aku sama sekali tidak pernah bertemu Usamah dan aku tidak mempunyai koneksi dengan kelompok manapun.”
13 April 2002, Iqbal diserahkan ke agen CIA di bandara Afghanistan, dimana tahapan mimpi buruk lainnya menunggu dia.
“Aku benar-benar melalui hari-hari buruk di sana. Aku tidak mempunyai kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan di sana. Aku mengalami siksaan fisik dan mental yang sadis,” ia mengungkapkan.
“Aku melihat tubuh-tubuh narapidana lainnya yang disiksa dan akhirnya meninggal. Mereka membunuh dua bocah Afghanistan, Asadullah, 10, dan Naqeebullah, 11, dengan terlebih dahulu menyiksa mereka.”
Hingga pada suatu hari, ia dibawa ke Guantanamo pada 23 Maret 2003.
Ibunya meninggal saat ia berada dalam tahanan AS, keluarganya dan para temannya menjauhi dia.
“Semua orang segan untuk menemuiku, untuk duduk bersamaku bahkan untuk berdiri denganku hanya dalam waktu beberapa menit.”
“Keluargaku mendapatkan gangguan dan ancaman oleh para agen.”
Kini Iqbal mendapatkan cacat seumur hidup, ia tidak dapat lagi berjalan tanpa menggunakan tongkat. Ia juga mengalami sakit parah di telinga kiri dan perutnya.
Itulah sebabnya, ia merasa kebijakan Obama untuk menutup Guantanamo tidak membawa perasaan apa-apa dalam dirinya.
“Dapatkah Obama membawa Ibuku kembali, membawa kesehatanku kembali atau membawa hari-hariku selama tujuh tahun?”
“Apa yang telah hilang, maka akan hilang selamanya.” (Hanin Mazaya/arrahmah.com)