Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela AMK
Gempita penutupan ajang Sea Games 2023 sudah usai digelar 17 Mei 2023 lalu. Euforia pecinta olahraga demikian terasa ketika tim nasional pulang ke Tanah Air mempersembahkan 87 medali emas, 80 perak, dan 109 perunggu. Terlebih ketika even ini diberi dukungan yang demikian jor-joran oleh pemerintah dengan digelontorkannya dana fantastis.
Dilansir oleh CNN Indonesia (17/5/2023) bahwa pemerintah melalui Kementerian Ekonomi (Kemenkeu) menyiapkan Rp852,2 miliar demi suksesnya agenda SEA Games Kamboja lalu. Dana jumbo itu diambil dari kas Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialirkan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Tiga peruntukan yang dialiri uang rakyat itu: membina para atlet pra-even (Rp522 miliar); memberangkatkan kontingen menuju Kamboja (Rp55,2 miliar); dan memberi bonus kepada penyabet medali, baik atlet, pelatih, hingga asisten pelatihnya (Rp275 miliar).
Apa yang dilakukan pemerintah itu tentu sebuah langkah dalam rangka support dan apresiasi terhadap pelaku dunia olahraga. Terlebih mereka adalah bagian dari rakyat yang mampu mengharumkan nama bangsa. Martabat negara terangkat karena kiprah mereka. Namun jika dipikirkan dalam tataran prioritas, sudah tepatkah langkah tersebut?
Adil dan Sesuai Prioritaskah?
Negeri ini kini masih memiliki PR besar terkait banyak hal. Termasuk perihal kesejahteraan yang masih jauh dari kata layak didapat oleh rakyat secara keseluruhan. Tengoklah problem kemiskinan ekstrem, stunting, dukungan untuk sarana prasarana dan infrastruktur pendidikan, hingga akses kesehatan bagi rakyat yang masih terbilang buruk.
Data menyebut bahwa 40% atau hampir separuh penduduk Indonesia terkategori miskin, ketika mengikuti acuan standar kemiskinan terbaru Bank Dunia (CNBC Indonesia, 9/5/2023). Kemiskinan ini berbanding lurus dengan kasus stunting yang dialami oleh anak-anak di negeri ini. Hingga kini problem berupa tumbuh kembang anak-anak yang tidak sesuai usinya ini demikian gencar diberitakan. Itu karena data jumlah dan bahayanya yang demikian mengkhawatirkan. Alodokter.com mewartakan dari Survey Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2021 bahwa 5,33 juta balita di negeri ini mengalami stunting. Sementara stunting adalah kondisi berbahaya yang dapat mempengaruhi perkembangan otak anak, rendahnya sistem imun, bahkan si anak berpotensi besar terserang penyakit berbahaya semisal kanker, jantung, stroke, dan diabetes.
Masih buruknya dukungan negara berupa infrastruktur pendidikan menjadikan banyak generasi negeri ini putus sekolah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan banyaknya anak putus sekolah terus meningkat sejak 2019 hingga 2022. Menyedihannya, betapa data tersebut tejadi di semua jenjang, SD, SMP hingga SMA. Bahkan tak sedikit kisah pilu yang dirasakan para mahasiswa yang terengah-engah demi mampu meraih pendidikan tinggi dikarenakan kian berlepasnya dukungan pemerintah menghasilkan biaya UKT (uang kuliah tunggal) yang kian melambung (CNBC Indonesia, 28/11, 2022).
Apa yang terjadi pada akses pelayanan kesehatan bagi semua lapisan warga pun sungguh tak ada beda dengan kondisi lainnya. Bermunculannya diskriminasi bagi rakyat miskin dikarenakan layanan kesehatan wajib ditebus dengan lembaran rupiah yang kian tak terjangkau. Sulitnya masyarakat meraih akses kesehatan karena kapitalisasi telah merambah hingga ke ranah vital yang sangat dibutuhkan ini. Bertebaran pula kasus nyawa warga yang tak tertolong karena tidak punya biaya untuk berobat. Sungguh menyesakkan dada.
Kembali lagi pada tataran prioritas. Lantas mana yang lebih mendesak untuk dituntaskan, urusan nyawa dan kesejahteraan, atau prestise di mata dunia?!
Pemerintah mungkin beralasan bahwa penggelontoran itu toh untuk insan-insan olahragawan yang juga rakyat Indonesia. Apakah salah jika negara mengalokasikan dananya bagi mereka? Padahal pertanyaan yang terpenting adalah bukan terletak di salah atau tidaknya, tapi sudahkah negara bersikap adil dan menempatkan skala prioritas sesuai dengan kedaruratan. Adil bagi seluruh rakyat yang wajib mendapat perhatian terkait pemenuhan kebutuhan asasinya. Sandang, pangan dan papan bagi semua individu rakyat. Hingga pendidikan, kesehatan, dan keamanannya. Bukan hanya bagi sebagian rakyat yang terkategori insan olahragawan saja!
Sayangnya, di sisi lain kita pun kerap mendengar kisah mengiris hati yang menimpa sebagian mantan atlet ketika melewati masa tuanya. Tengoklah sosok Verawati Fajrin, pebulu tangkis ternama di era 1980-an. Kompas.tv (21/9/2021) memberitakan, sebelum tutup usia ketika menderita kanker paru-paru, dirinya sempat tidak mendapat layanan kamar di RS Dharmais. Baru setelah kasusnya viral, bantuan dari orang nomor 1 di Indonesia pun tiba. Begitupun dengan pebalap sepeda Hendra Gunawan, yang pernah menyabet 3 medali emas di Asean Games 1962. Ia dikabarkan menjalani masa tuanya terlantar dan mengalami kebutaan.
Hal yang sangat mencengangkan adalah data yang dihasilkan survey Litbang Kompas terkait kesejahteraan yang buruk orang-orang yang di usia mudanya pernah mengharumkan nama bangsa itu. Dari 330 atlet dan mantan atlet, 63,5% atau lebih dari setengahnya menyatakan bahwa mereka tidak sejahtera.
Artinya bahwa limpahan materi dan prestise berupa medali dan bonus besar tidak menjamin kesejahteraan mereka hingga masa tuanya. Masa muda dan jaya mereka tampak dipuja dan disayang, tapi ketika tua dan lemah seolah dilupakan dan terbuang.
Paradigma Kapitalistik Sekuler
Itulah yang terjadi jika paradigma kapitalistik dalam sistem sekuler dianut oleh negara. Prestise lebih didahulukan dibanding penuntasan urusan nyawa dan kesejahteraan. Keadilan bagi seluruh elemen rakyat untuk diperhatian tak mendapatkan porsi sebagaimana mestinya.
Kapitalisme sekuler adalah sistem hidup yang menjadikan peraihan materi dan kepuasan duniawi sebagai tolok ukur. Prestise pun pada akhirnya menjadi proritas di tengah kepungan masalah yang belum tuntas menyangkut nyawa dan kesejahteraan secara keseluruhan rakyat.
Kapitalisme sekuler pun telah gagal memberikan jaminan kesejahteraan yang berkeadilan bagi segenap rakyat di semua lapisan usianya, dari anak-anak hingga manula. Ini karena kapitalisme tak mampu mengelola dan mendistribusikan harta kekayaan alam, yang melimpah sekalipun, untuk pengurusan semua kebutuhan asasi rakyat. Negara dalam perspektif kapitalisme lebih memosisikan diri sebagai regulator dibanding pelaksana pengurusan urusan rakyat. Urusan rakyat diserahkan ke tangan swasta berkapital besar dengan mekanisme bisnis.
Ukuran Prioritas dalam Pandangan Islam
Sebagai agama yang bukan hanya mengatur urusan ibadah melainkan semua perkara kehidupan, Islam memiliki ukuran prioritas yang wajib dijalankan oleh negara. Negara dalam hal ini sebagai pihak yang diserahi tanggung jawab pengurusan semua urusan rakyat (riayah as-suunil ummah). Artinya bahwa semua urusan rakyat mulai dari kesejahterannya, perlindungan dan keadilan yang mereka butuhkan wajib diurus dan dijamin peraihannya.
Adapun terkait prioritas, hadis Rasulullah saw. ini dapat menjadi pemandu. “Barangsiapa pada pagi hari dalam kondisi aman jiwanya, sehat badannya, dan mempunyai bahan makanan cukup pada hari itu, seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Sabda Rasul tersebut mengarahkan bagi para penguasa/negara, wajiblah kiranya untuk memprioritaskan terpenuhinya keamanan, kesehatan, keterpenuhan pangan sebagai hak asasi rakyat yang diurusnya. Maka seorang penguasa Islam tak akan merasa tenang dan akan senantiasa memfokuskan perhatiannya jika di wilayahnya masih terdapat rakyat yang kekurangan pangan, tak mendapat akses kesehatan dan keamanan yang layak, dan seterusnya.
Prioritas pun akan diarahkan negara pada urusan amannya akidah umat dari rongrongan pemikiran kufur. Dan yang tak kalah urgennya adalah kokohnya kedaulatan negara baik di dalam maupun luar negeri.
Lantas di mana letak dukungan negara pada urusan olahraga? Islam sesungguhnya memosisikan olahraga sebagai sesuatu yang bersifat mubah. Artinya bahwa negara tidak akan melarang aktivitas yang berkaitan dengan olahraga, selama tidak sampai pada ranah melenakan dari perkara yang wajib. Terlebih ketika dipahami bahwa dalam olahraga terdapat aspek yang dapat mendukung kesehatan fisik masyarakat. Tentu keberlangsungannya akan mendapat support dari negara.
Imam ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menyebut bahwa aktivitas apapun di luar perkara ritual dan zikir kepada Allah Swt. terkategori kelalaian dan pengalihan. Hal tersebut dikecualikan untuk belajar berkuda, berlatih memanah, bermain dengan keluarga, dan berenang.
Abu Hamid al-Ghazali menuturkan nasihat bahwa setelah anak-anak belajar hendaknya diizinkan berolahraga untuk mengusir kebosanan. Bahkan larangan untuk berolahraga justru berefek mematikan hati dan mengikis kecerdasan. (Republika.com)
Sementara even-even olahraga baik yang diselenggarakan di dalam maupun luar negeri berhubungan dengan permainan, jatuhnya hukumnya adalah mubah. Tentu sesuatu yang mubah tidak akan mendahului perkara yang wajib, dalam hal ini prioritas untuk urusan nyawa, akidah dan kesejahteraan rakyat. Jikapun negara mendukung urusan olahraga di even internasional adalah sebagai wasilah untuk menunjukkan harga diri negara sehingga tak mudah disepelekan.
Namun demikian perspektif Islam tersebut hanya bisa diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai negara yang komitmen memberlakukan syariat Allah yang kafah, bukan di negara kapitalis yang sekuler. Wallahu al’lam bi ash-shawwab.