BEKASI (Arrahmah.com) – Proyek antiterorisme oleh Densus 88 Antiteror didanai Amerika dan uang panas narkoba, karena itu DPR RI harus mengaudit sumber keuangan Densus. Demikian yang diungkapkan Ketua DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman SH.
“Kita punya bukti konkret Densus itu dibiayai Amerika, pada awalnya sebesar sebesar $ 12 juta atau lebih kurang seratus miliaran lebih. Nah, dana itu kontinyu sampai sekarang,” ungkapnya dalam kuliah umum ilmiah bertema “Memerangi Syariat Islam dengan Deradikalisasi” di Masjid Muhammad Ramadhan, Ahad (9/10/2011).
Munarman memaparkan salah satu bukti yang terungkap dalam bocoran kawat diplomatik yang telah dibocorkan Wikileaks baru-baru ini. Salah satu bocorannya telah diberitakan di website bahwa sampai sekarang Densus 88 membagi-bagi hadiah berupa uang yang salah satunya bersumber dari Amerika Serikat.
“Jadi, setiap peristiwa terorisme, setelah penangkapan terhadap para aktivis Islam yang difitnah sebagai teroris itu akan ada bagi-bagi hadiah mereka,” paparnya di hadapan seribuan jamaah kajian yang diadakan oleh Majelis Ilmu Ar-Royyan.
“Tempat bagi-bagi hadiah itu salah satu tempatnya di pangkalan kontra terorisme mereka. Pangkalan kontra terorisme mereka ini satu ada di Mega Mendung satunya lagi ada di Akpol Semarang.”
Lebih lanjut munarman mengatakan bahwa kedua pangkalan kontraterorisme itu tak bisa diakses oleh siapapun, bahkan oleh polisi biasa. Kasus ini sama dengan laboratorium Namru di Indonesia.
“Namru itu milik Angkatan Laut Amerika Serikat kerjasama dengan Departemen Kesehatan tetapi bahkan Menteri Kesehatan tidak bisa masuk ke laboratorium Namru. Nah sekarang ini kejadian terhadap tubuh kepolisian kita, ada pangkalan-pangkalan mereka yang bahkan polisi sendiri tidak bisa masuk,” jelas Ketua An-Nashr Institute itu.
Munarman menambahkan, tidak hanta bersumber dari Amerika Serikat dan dana Densus 88 juga berasal dari bisnis narkoba hasil tangkapan Badan Narkotika Nasional (BNN).
“Gories Mere kenapa dia ditempatkan jadi kepala BNN? ini sumber uang sebetulnya, karena saat terjadi penangkapan besar-besaran kan barang buktinya ada di BNN itu tidak ada yang tahu kalau barang buktinya dijual kembali untuk biaya-biaya deradikalisasi, itu sumber keuangannya berasal dari situ,” ujarnya.
Lebih lanjut Munarman mengungkapkan bahwa Gories Mere adalah orang yang paling berbahaya bagi para mujahidin Indonesia. Kalau polisi punya daftar DPO di kalangan mujahidin yang dituduh teroris, maka sebaliknya orang nomor satu yang masuk daftar DPO mujahidin adalah Gories Mere.
Munarman juga menjelaskan kekuatan polisi Kristen di tubuh Detaseman Khusus (Densus) 88 Antiteror yang sangat berperan dalam memerangi para aktivis Islam.
“Di dalam Densus itu sebenarnya ada unit yang diistimewakan betul daripada unit lainnya, yaitu unit Tim Anti Bom. Tim Anti Bom ini dikomandani langsung oleh Gories Mere. Kuncinya itu merekrut polisi-polisi Kristen dan polisi-polisi kafir lainnya,” paparnya.
Uniknya, jelas Munarman, meski Tim Anti Bom ini memiliki tugas buru sergap yang boleh melakukan tembak di tempat, tapi unit Densus ini hanya bisa diakses oleh Gories Mere.
Fungsi dan kewenangan Tim Anti Bom ini, lanjut Munarman, jauh melebihi Densus sendiri. Fungsi Densus hanya menangani pembinaan dan proses hukum para aktivis Islam yang dicap teroris, setelah ditangkap, dijinakkan dan dianggap tidak membahayakan.
“Jadi Densus itu proses penyidikannya saja, tapi tim yang nembak, yang nyergap, yang ngintelin, membunuhi dan memonitor itu Tim Anti Bom,” ujarnya.
Biaya operasi Tim Anti Bom, ungkap Munarman, seratus persen ditanggung oleh Amerika Serikat dan biaya dari narkoba, karena pemerintah RI tidak mampu membiayai.
“Biayanya ditanggung sepenuhnya oleh Amerika Serikat dan biaya-biaya dari narkoba. Dalam laporan deradikalisasi itu bahkan Gories Mere sendiri menyebutkan, ‘Karena pemerintah tidak menyediakan dana yang cukup untuk program deradikalisasi maka saya dan teman-teman polisi lain mencari sumber dana dari non-APBN,'” ungkapnya.
Munarman mengungkapkan bahwa dana non-APBN dalam operasi Tim Anti Bom itu salah satunya adalah penjualan narkoba hasil penangkapan di Badan Narkotika Nasional (BNN). Untuk itu, Munarman mendesak DPR RI agar mengaudit keuangan Densus. (voaI/arrahmah.com)