(Arrahmah.com) – Amal shalih yang dikerjakan orang tua akan memberikan dampak positif secara kejiwaan kepada sang anak. Demikian pula telah disampaikan bahwa perbuatan buruk orang tua juga dapat memberikan dampak psikis yang buruk terhadap pendidikan anak.
Amal-amal kebaikan yang dilakukan kedua orang tua dapat mendatangkan pujian orang lain dari masyarakat kepada anak-anak kita. Demikian pula, perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan orang tua akan mendatangkan celaan, cibiran dan hinaan dari masyarakat. Semua hal di atas mempengaruhi kepribadian dan kondisi kejiwaan anak. Sehingga janganlah kita, wahai ayah dan ibu, menjadi sebab anak-anak dicela karena perbuatan kita sendiri.
Apakah kita ridho jika ada yang mengatakan kepada anak kita, “Ayahmu pencuri? Ayahmu pezina? Ibumu itu suka memasukkan lelaki hidung belang ke rumah? Laki-laki itu sering berdua-duaan dengan ibumu?”.
Apakah kita ridho jika ada yang mengatakan kepada anak kita,“Sesungguhnya ibumu suka ingkar janji?”
Hal tersebut merupakan perkara yang akan menghancurkan kepribadian anak-anak kita, namun kita tidak sadar. Seorang anak yang jika disebutkan bahwa Engkau adalah anak orang yang shalih, orang tuamu adalah orang berilmu, orang yang pemberani, sering mendamaikan orang, dermawan kepada orang-orang miskin, orang yang sering ibadah, maka tentu kejiwaan sang anak akan meningkat, akhlaknya akan mulia dan dia akan bersemangat melakukan berbagai amal kebaikan.
Namun jika dia mendengar masyarakat menggelari orang tuanya dengan gelar buruk, mencela orang tuanya karena perilaku buruk dan memalukan, tentu jiwanya akan hancur.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala banyak menyebut anak-anak dengan (sebab) keshalihan orang tuanya. Allah Ta’ala memotivasi mereka dengan hal tersebut untuk beriman, bersyukur dan beramal shalih. Allah Ta’ala berfirman,
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“Anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra’ [17]: 3)
Maksudnya, kaum Nabi Nuh diingatkan bahwa sesungguhnya orang tua mereka adalah hamba yang bersyukur. Maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang shalih sebagaimana orang tuamu.
Allah Ta’ala berulang kali menyeru di banyak kesempatan dalam Al Qur’an,
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Wahai Bani Israil.” (QS. Al Baqarah [2]: 47)
Maksudnya, wahai anak keturunan Nabi Israil yang mulia, yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Seruan ini untuk mengingatkan bahwa ayah atau kakek mereka adalah orang yang shalih, bahkan seorang Nabi yang mulia yaitu Israil (Ya’qub ‘alaihissalam). Seruan ini sekaligus untuk mengingatkan mereka agar mereka meniru, meneladani orang tua mereka dalam hal kebaikan dan keshalihan.
Demikian pula kaum Maryam ‘alaihassalam ketika mereka heran karena menyangka kalau beliau telah berzina, mereka lantas berucap kepadanya,
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
“Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam [19] : 28)
Bertakwalah kepada Allah wahai ayahanda, bertakwalah wahai ibunda … demi anak keturunan kita …
Oleh: Aditya Budiman dan M. Saifudin Hakim / Muslimah.or.id
(*/Arrahmah.com)