Muslim dan Muslimah di lembah Idyllis Kashmir telah belajar bagaimana cara bertahan hidup selama enam dekade dengan tanpa solusi untuk permasalahan wilayah yang diselisihkan, yang telah meletuskan peperangan hebat antara India dan Pakistan.
Penjara Pusat, November 2008
Para tahanan wanita berjalan dengan berjongkok di lantai yang dingin mengenakan hijab hitam yang menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Aasiya Andrabi, salah satunya, seorang muslimah yang kukenal sebelum ia berada di penjara. Beberapa bulan sebelumnya, aku menemuinya di rumahnya, ia menghidangkan kebab untukku yang membuatku selalu rindu untuk memakannya kembali.
Di dalam sel, kami saling berpelukan. Suaminya, dituduh telah melakukan penghasutan kepada publik, ia telah ditahan selama lebih dari satu dekade. Di dalam penjara, dia menyelesaikan studi Master nya dan PhD dalam studi-studi Islam. Ketika aku memasuki ruang uap, ia menggeser tubuhnya.
Ruang berkunjung merupakan ruangan yang suram, sangat gelap. Penerangan hanya melalui kaca-kaca jendela. Aku duduk di lantai. Di sana tidak ada kursi, tidak ada bantal, tidak ada selimut, tidak ada pemanas, tidak ada kenyamanan untuk seorang perempuan yang dituduh sebagai pemimpin dalam aksi protes pada Agustus silam. Dan di sana, banyak yang nasibnya serupa dengannya.
Ruang dengan ukuran kamar kecil dijaga oleh seorang tentara India yang berdiri tepat di luar ruangan. Aku melihat mereka memindahkan dua pengunjung pria. Aku dengar mereka menanyakan dokumen-dokumen dan mencap tangan-tangan mereka dengan tinta. November saat itu merupakan musim dingin yang mengerikan dan hampir tak tertahankan. Beruntung, aku diperbolehkan mengenakan mantel dan syal yang kukenakan dari luar.
Di lantai, ia duduk seperti perempuan lain pada umumnya. Di bawah cadarnya, aku melihat mata yang tajam, tegas, seperti memiliki keinginan kuat untuk bebas sama seperti keinginan kuat pada diri seorang pria.
Bagaimanapun, nasib Kashmir hingga saat ini masih belum menemui titik terang. India dan Pakistan sama-sama bersikeras mempertahankan Kashmir sebagai bagian dari wilayah mereka.
Andrabi adalah pemimpin pergerakan sosial politik muslimah pertama dan satu-satunya di Kashmir yang dikenal dengan Dukhtaran e-Millat. “Aku mendirikan organisasi tersebut untuk melindungi perempuan dari pemerkosaan,” ujarnya.
“Otoritas mulai khawatir dengan keberadaanku. Mereka tahu aku memiliki kekuatan untuk mempengaruhi muslimah lain. Itulah mengapa aku berada di sini.”
Bagi pemerintah India, Andrabi diyakini sebagai perempuan paling berbahaya di Kashmir karena ia menguasai satu taktik yang dapat mengembalikan hukum Islam.
Andrabi ditangkap pada Agustus 2008 silam karena memimpin sebuah aksi demonstrasi. Awalnya, ia mampu menyembunyikan diri dalam beberapa waktu sampai akhirnya tentara India menangkapnya. “Aku dipenjara tanpa pemeriksaan. Dan aku tidak tahu kapan aku dibebaskan.”
Di dalam penjara pusat, Andrabi mengatakan seluruh masyarakat tengah menderita. “Kami hanya memiliki tangan untuk berperang. Tidak ada senjata.” ujarnya.
Lalu, mengapa Andrabi dianggap sebagai sebuah ancaman besar? Andrabi mempertahankan kefanatikannya untuk Islam karena ia tidak menginginkan sekulerisme. “Apakah aku radikal jika menolak berada di bawah otoritas pemerintah Hindu-India? Apakah aku ekstrimis untuk memperjuangkan kebebasan? Aku Muslimah yang meyakini harus hidup dalam sebuah negara Islam. Di bawah hukum Islam, tidak hanya untuk muslim, namun juga untuk seluruh agama minoritas akan dilindungi di dalamnya. Aku berdiri untuk kemanusiaan, bukan hanya untuk Muslim.”
Selama tiga jam, aku duduk di lantai yang sangat dingin yang hanya ditutup oleh sebuah karpet dekil. Wawancara kami terhenti oleh panggilan sholat. Dikejauhan, suara muazin bergema melalui kota Srinagar. Saat muadzin menyelesaikan adzan, ruang itu kembali sunyi. Aku mendengar para penjaga di luar berbicara dalam bahasa nasional, Hindi, namun Andrabi berbicara padaku dalam bahasa Urdu dan Inggris.
Aku menanyakan hal yang sama yang diajukan jurnalis dan peneliti lainnya. Mengapa kamu bergabung dalam pergerakan? Kapan kamu mendirikan organisasi tersebut? Mengapa kamu memilih memakai pakaian seperti ini? Apa yang Anda perjuangkan? Kenapa kehidupanmu patut dicontoh? Jawabannya telah dapat diramalkan.
Seperti muslimah lain yang hidup dalam konflik, Andrabi tidak berbeda. Dia bergabung dengan sebuah pergerakan untuk mencari keadilan. Apa yang ia sebut sebagai kebebasan sangat diperlukan untuk melindungi perempuan Kashmir.
“Ketika aku mengetahui para wanita diperkosa, aku dirikan organisasi ini untuk melindungi mereka. Cadar dan pedang yang kami bawa semata-mata untuk melindungi diri dan memberikan kekuatan. Kamu tahu, lelaki India sangat takut padaku karena cadar ini? Karena mereka tidak dapat melihat wajahku, mereka tidak tahu mereka berbicara dengan siapa dan ini membuat mereka takut!”
Ini adalah penangkapan Andrabi yang ketiga kalinya. Penangkapan yang lalu hanya bertahan sehari, dua hari tidak seperti sekarang.
Dia menjelaskan, “Pekerjaanku adalah mendidik muslimah bagaimana cara hidup sebagai seorang muslimah. Salah satu yang terpenting adalah melindungi aurat dan tubuh kami. Itulah mengapa aku mengajari putriku menggunakan senjata tajam.”
“Dengan cadar ini, tak ada seorang pun yang berani menyentuhku. Setiap aku ditahan, tentara India itu selalu mengatakan, ‘Aisya, kami lebih takut akan burqa mu dibanding militan!'” Itu adalah statemen yang membuatku bangga.
*kisah ini hasil perjalanan seorang analisis politik, Farhana Ali.
(Hanin Mazaya/arrahmah/METimes)