AFGHANISTAN (Arrahmah.com) – Abdul Shafiq, 30, dia telah mengorbankan kehidupannya dan keluarganya untuk dua hal : mendalami Al-Qur’an dan berjihad (perang)!
Setelah tahun 2001, sejak Amerika melakukan invasi ke Afghanistan, Taliban kembali tinggal di pegunungan seperti kelahirannya dahulu, melakukan sebuah misi : mengusir keluar tentara kafir dan orang-orang murtad yang mendukungnya.
Sebelum pergi berperang, biasanya dirinya meminum segelas the di depan “rumah” yang hampir tertutupi salju, di suatu tempat di Selatan Kabul, lalu menggunakan penutup wajah dan bersiap ke medan tempur.
Abdul Shafiq, serupa dengan penduduk Afghan lainnya, namun ia memiliki rasa bahagia karena dapat bergabung dengan tentara Allah lainnya.
Hari itu ia menggunakan jubah panjang berwarna krem, jaket kulit, jenggot dan rambutnya tebal, berwarna hitam, matanya yang coklat berbinar memperlihatkan kebahagiaan mendalam, tidak lupa ia menggunakan kopiah dikepalanya.
Dalam persembunyiannya di Kabul, ia hanya menghabiskan dua malam di tempat yang sama, istirahat sejenak dan kembali ke medan pertempuran.
Walau hidup dipegunungan, ia tidak ketinggalan berita, ia mendengar tentang Barack Obama, Presiden baru AS yang menurutnya “tidak akan merubah apapun”.
Cita-citanya adalah, selama tentara-tentara kafir AS masih menduduki Afghan, maka ia dan mujahidin lainnya akan berperang menghadapi mereka hingga mereka keluar dari negeri Muslim Afghanistan.
Lahir dan besar di Wardak, lalu pindah ke Kabul, dalam usia 13 tahun, ia memasuki sekolah Islam. Ia mengingat, gurunya saat itu adalah orang yang keras, menafsirkan Islam dengan tegas. Tidak dicampur-campur dengan pemikiran lainnya. Yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil.
Di tahun 1994, ia bergabung dengan Taliban, mempersiapkan diri untuk berperang melawan Uni Soviet saat itu bersama mujahidin lainnya.
Saat mereka berhasil memenangkan pertempuran dan menguasai Ibukota pada 1996, “semua orang senang dan melihat Taliban sebagai kelompok Islam terdepan, mengakhiri pemerkosaan terhadap muslimah, pembunuhan dan penculikan,” ujar Shafiq.
Saat umurnya menginjak 18 tahun dan telah mengenyam beberapa pendidikan, juga telah bergabung dengan Taliban selama dua tahun, ia diberikan jabatan untuk mengurusi bidang administrasi dalam pemerintahan Taliban.
Namun, Shafiq lebih menyukai untuk melanjutkan perang, ia melakukan perjalanan ke Utara untuk memerangi Ahmad Shah Massoud, musuh Taliban. “Beberapa pejuang sangat baik, kami menghormati mereka,” ujarnya mengingat-ingat.
Saat berada di pegunungan di wilayah Utara, ia mendengar berita dari siaran radio, bahwa Al-Qaeda menyerang jantung Amerika Serikat.
“Itu hal terindah, indah untuk didengar, semua orang di sini sangat bahagia,” ujarnya dengan tersenyum.
Tetapi, ketika AS menyerbu Afghanistan pada bulan berikutnya, Shafiq dan teman-temannya segera menyadari mereka tidak siap melawan banjir serangan bom dari AS dan mereka melarikan diri untuk merancang taktik menghadapi Amerika. Sebagian mujahid menuju Pakistan dan Shafiq serta mujahidin lainnya menuju Iran.
Pemerintah Iran dan Taliban mungkin memiliki sedikit kesamaan, tetapi mereka membagi perlawanan untuk AS.
Iran menerima ratusan pejuang Taliban, menurut Shafiq, ia bertahan di Iran selama empat tahun, tanpa senjata dan tanpa pertempuran. Ia merasa putus asa.
“Aku tidak ingin melakukan apapun,” ujarnya.
“Bagaimanapun, aku tidak mengetahui cara melakukan apapun kecuali bertempur. Kami membaca Qur’an tetapi merasakan hidup tidak lagi menarik.”
Di awal tahun 2006, Afghanistan memilih parlemen baru. Di Kabul, AS telah percaya diri bahwa Taliban telah berakhir.
Ia kembali ke rumahnya di Wardak dengan sembunyi-sembunyi, keluarganya mengatakan “Amerika telah menghabisi Taliban dan meninggalkan sedikit pejuangnya.”
Ia bertanggung jawab terhadap satu kelompok berisi 30 mujahid, mempertahankan hidup, bergerak meninggalkan satu tempat yang aman ke tempat lainnya.
Setelah itu, Taliban mulai membangun kembali kekuatan. “Segalanya terususun dengan baik. Kami mendapat perintah langsung dari pemimpin kami di Pakistan,” ujar Shafiq. Kami mengatur strategi bagaimana mendapatkan uang dan memperoleh senjata.
Di pedesaan yang padat penduduk dan tengah menganggur akibat AS telah membombardir mereka dan mereka hanya terdiam menunggu bantuan internasional yang tidak pernah tiba, Taliban masuk ke sana, berdakwah dan membongkar makar AS, bahwasanya mereka adalah “musuh kaum muslim” dan melakukan penjajahan di negeri muslim. Taliban sedikit demi sedikit mendapatkan dukungan.
Mereka mendukung Taliban, bersama-sama melakukan jebakan untuk mengambil barang-barang dari konvoy suplai AS. Hingga Taliban bisa kembali kuat seperti saat ini, mereka yakin akan pertolongan Allah dan terbukti, tentara kafir AS dan sekutunya tengah kewalahan menghadapi serangan mujahidin Taliban. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)