JAKARTA (Arrahmah.com) – Kesadaran berzakat umat Islam Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan peningkatan yang mengagumkan. Kehadiran amil zakat tingkat nasional yang merespon kondisi tersebut, mengindikasikan bahwa pengelolaan zakat semakin perlu dan menuntut keseriusan serta kesungguhan yang diatur dalam sebuah undang-undang. Utamanya agar zakat di Indonesia ini benar-benar dapat dioptimalkan dalam membantu negara menanggulangi kemiskinan.
“Potensi zakat di Indonesia itu sangat luar biasa. Kemudian dari sisi ketentuan dan pemanfaatan, pengelolaan zakat jauh lebih tepat sasaran di banding pajak. Zakat langsung didistribusikan ke masyarakat, sementara pajak tidak bisa diterapkan seperti zakat,” jelas Prof. Dr. KH Didin Hafiduddin, MS, dalam acara Stadium General di Aula Pascasarjana UIKA Bogor, belum lama ini
Menurut Didin, tak kurang 20 triliun rupiah dana zakat bisa dikumpulkan per tahunnya. Oleh karena itu peraturan mengenai zakat ini mutlak diperlukan, selain karena potensinya yang begitu besar, secara empiris mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat Islam. Lebih dari itu, dari sisi kemudahan dan kejelasan, ketentuan zakat jauh lebih mudah dan efektif dibanding dengan pajak.
Ada kecenderungan kemiskinan terus meningkat, sementara kesenjangan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat semakin melebar. Hal ini tidak perlu terjadi jika zakat benar-benar diterapkan.
“Zakat benar-benar akan mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Sebab dana zakat tidak seperti dana pajak. Dana zakat yang dikumpulkan dari suatu daerah, maka dana tersebut harus seratus persen digunakan untuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat di daerah itu sendiri. Kecuali daerah tersebut surplus alias tidak ada yang berhak menerima zakat atau semuanya sudah menjadi muzakki. Sementara pajak diakumulasi dan dananya diangkut ke pusat,” tegasnya.
Dalam acara yang bertajuk “Dari Konferensi Zakat Beirut Menuju Penerapan Sistem Zakat Secara Kaffah di Indonesia” itu, KH Didin juga menjelaskan, kalau pemerintah serius merespon aspirasi umat Islam mengenai pengelolaan zakat ini, bisa dipastikan penanggulangan kemiskinan akan lebih cepat tertangani dan masyarakat pun akan semakin terdorong untuk melakukan gerakan sadar zakat.
“Zakat tidak bisa dipungkiri, ini mutlak harus direspon pemerintah. Sebab bagi umat Islam mengeluarkan zakat bukanlah perkara yang harus dipaksa-paksa, karena selain jelas ketentuannya, dalam aspek akidah membayar zakat merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan. “
Sementara pajak, terus terang harus diakui, banyak orang yang membayar pajak karena keterpaksaan dari pada kesadaran.
“Saya optimis sekali kalau pemerintah serius untuk menjadikan zakat sebagai satu model pemberdayaan masyarakat, bangsa ini akan terbebas dari kemiskinan dan kesenjangan sosial,” ungkapnya.
Terkait dengan hal tersebut, ada tiga poin yang hendak diajukan oleh Ketua Umum BAZNAS kepada pemerintah agar zakat benar-benar bisa menduduki peran strategisnya dalam pemberdayaan masyarakat dan negara tentunya.
“Oleh karena itu saya ingin agar pemerintah bersedia memberlakukan zakat sebagai satu instrumen negara dalam mengelola dana umat. Pertama, zakat sebagai pengurang pajak secara langsung. Jadi kalau ada orang berpenghasilan 100 juta misalkan dan kena zakat 2,5%, dan aturan pajak menghendaki 10% dari penghasilan tersebut, maka pajak diambil dari 10% setelah 100 juta dikurangi 2,5% zakat,” jelasnya.
“Kedua, adanya sangsi bagi orang yang tidak mau berzakat, padahal sudah terkena kewajiban. Sanksinya ya tidak mesti pidana, bisa sanksi sosial ataupun sanksi administratif. Kalau ini disepakati maka untuk seluruh umat Islam yang kena wajib zakat harus memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat). Nah siapa yang melanggar bisa disanksi dengan sanksi administratif. Ya kalau mau buat SIM misalkan, atau mau mengurus surat-surat penting lainnya, kalau tidak ada BSZ (Bukti Setor Zakat) maka yang bersangkutan tidak dilayani,” katanya. [hidayatullah.com/arrahmah.com]