(Arrahmah.com) – Akhir-akhir ini ada beberapa peristiwa yang membuat kita semakin muak terhadap rezim dan supremasi hukum di alam demokrasi. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dikhawatirkan akan menguap. Pasalnya, langkah lingkungan Polri dinilai berat sebelah, karena enggan memproses delapan laporan yang disampaikan ormas Islam terkait kasus tersebut. Pengamat masalah intelejen, Fauka Noer Farid mengatakan, tak diterimanya laporan penistaan agama yang dilakukan Gubernur Ahok, dikhawatirkan akan menghilang kasus penistaan agama tersebut. Hal itu berkaca dari beberapa kasus sebelumnya, yang menimpa mantan Bupati Bangka Belitung. “Semua kasus menguap, saya khawatir ini juga akan seperti itu,” katanya, Rabu (12/10). (poskotanews.com 12/10/16)
Kita juga harus menyadari bahaya terhadap kompromi terhadap setiap ujaran kebencian dalam kasus penghinaan terhadap Islam ini. Patut dipertanyakan kampanye toleransi, karena di saat yang sama pemerintah justru membiarkan pemikiran ekstrim dan radikal atas nama kebebasan, menghina Islam, ulama dan kaum Muslim. Tidak hanya itu. Bak paduan suara, Andapun juga melihat tindakan radikal dilakukan kampium demokrasi AS dan Israel terhadap negeri Islam yang telah menimbulkan banyak korban jiwa. Dialog peradaban dan dorongan agar menjadi muslim moderat, terkesan dilakukan sekedar untuk membungkam perlawanan umat Islam terhadap ketidakadilan kapitalisme yang menindas umat Islam dan mendorong umat Islam untuk mau diperlakukan secara semena-mena.
Tak hanya kasus penistaan agama, kasus reklamasi pantura Jakarta dan dugaan korupsi RSSW senyap dari pemberitaan. Sebelumnya Aktivis, Ratna Sarumpaet menyebut, dua kasus yang dimaksud adalah Reklamasi Pantai Utara dan dugaan korupsi Sumber Waras. “Kasus Ahok seperti menguap hanya karena Ketua KPK (Agus Rahardjo) mengatakan belum ditemukan niat jahat,” kata Ratna di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (6/9). Ratna sendiri mengaku heran kenapa dua kasus yang menurut dia jelas-jelas ada unsur pidananya itu menguap begitu saja. Ia mencontohkan kasus Sumber Waras yang menurutnya ada transaksi aliran dana di luar prosedur dalam pembelian tanah rumah sakit di bilangan Grogol, Jakarta Barat itu. “Kalau tidak terjadi apa-apa lalu apa yang terjadi dia (KPK) harus jelaskan. Tidak boleh otoriter mengatakan ‘oh belum ditemukan’, ditemukan apa? Orang kami udah ketemu dari kapan,” pungkasnya sebagaimana yang dilansir kriminalitas.com (6/9/16).
Enam hari yang lalu sebuah petisi yang berjudul “Bubarkan Majelis Ulama Indonesia” mencuat di halaman change.org. Petisi itu cukup membuat heboh karena dibuat tak lama setelah MUI menyimpulkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah melecehkan Alqruan. Petisi sebelumnya, “Ahok!Jangan Lecehkan Ayat Alquran” telah mencapai 75 ribu dukungan. Petisi dukungan MUI bergerak baik melalui pesan instan berantai maupun media social (republika.co.id 19/10/2016). Aneh! yang bermasalah Ahok, yang digugat malah MUI.
Ingat, terhadap kasus-kasus tersebut, jika negara hadir, maka sikap negara tidak perlu menunggu protes keras dari rakyat. Tangkap dan adili pelakunya. Bila dalam faktanya, pemerintah tidak menindak tegas penghinaan terhadap Islam itu dengan dalih keceplosan ataupun kebebasan berpendapat, menunjukkan pemerintah di demokrasi sama saja, menerapkan standard ganda. Siapapun menghina presiden dilarang dan bisa dipenjarakan dengan alasan hate speech, sementara penghinaan terhadap Islam dibiarkan atas nama kebebasaan?
Standar ganda seperti ini sering sekali terjadi, terutama pada perkara yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam. Contoh yang terbaru Siyono distempel teroris tanpa ada pembuktian, sementara tindakan OPM dibiarkan. Dalam perspektif internasional, Hamas yang berjuang membebaskan negerinya dari penjajahan Israel disebut teroris. Sementara tindakan Israel yang menduduki dan membunuh rakyat sipil di Palestina dengan peralatan tempur canggih dan bom berkuatan dahsyat disebut aksi membela diri. Kemudian siapapun yang mengkritik kebijakan Israel ini akan dituduh anti semit.
Inkonsistensi yang demikian mencolok, membuat kita wajib meragukan nilai-nilai demokrasi dan Kapitalisme yang diadopsi negara ini yang diklaim sebagai format terbaik dunia saat ini. Sungguh sangat mengerikan kalau kebebasan diartikan sebagai bebas menghina agama dan keyakinan orang lain. Betapa bahayanya, jika atas nama demokrasi, kebebasan, perang melawan terorisme, siapapun boleh melakukan apapun, termasuk menahan tanpa tuduhan, menyiksa, sampai membunuh orang lain bahkan juga menyerbu, menduduki dan menghancurkan negara lain. Ini semua menunjukkan kegagalan peradaban kapitalisme yang sangat kronis. Inikah ‘keberhasilan’ yang dibanggakan rezim demokrasi?
Apakah rezim Jokowi ingin menyembunyikan wajah buruknya ketika mereka menempatkan kaum muslim yang aktif menentang kezaliman ditempatkan di bawah “mikroskop”, yang dilakukan karena satu alasan, yaitu karena mereka ingin keadilan ditegakkan?
Demokrasi juga secara efektif menumbuh suburkan kekufuran dengan alasan kebebasan menghina agama, melegitimasi kemaksiatan dengan dalih kebebasan bertingkah laku. Memecah belah negeri Islam (disintegrasi) dengan alasan hak menentukan nasib sendiri. Dan memberikan jalan penjajahan ekonomi dengan dasar kebebasan pemilikan yang menjadi pilar ekonomi liberal.
Kaum Muslim telah jatuh berkali-kali. Ketika kita membaca sebuah surat kabar, menghidupkan televisi atau surfing internet kita selalu mendapatkan berita-berita yang berisi pandangan sekuler yang dilontarkan. Opini dan tekanan ini telah memaksa sebagian orang untuk menjelaskan Islam dengan cara untuk melunak – dengan harapan agar dianggap “moderat”.
Seringkali, yang mendapat untung dari kebebasan itu adalah individu atau kelompok yang memiliki pandangan atau perilaku yang sama dengan kepentingan pemerintah, atau para kapitalis kuat yang memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruhnya atas pemerintah. Itulah sebabnya begitu banyak lembaga, termasuk lembaga militer di Barat, yang diberikan kebebasan untuk menyerang Islam karena retorika dan kebijakan diskriminatif berapi-api mereka selaras dengan perang yang belum selesai yang dilakukan terhadap Islam. Namun, jika media Barat, atau banyak lembaga didapatkan menghina orang-orang Yahudi atau negara Zionis Israel, pemerintah Barat dengan cepat akan mengambil langkah tegas untuk membatasi penghinaan yang mereka lakukan. Apakah ini yang juga dipraktekkan pemerintah Indonesia? Anda bisa menjawab sendiri.
Penghinaan terhadap Islam terus berulang. Hal serupa akan terus terulang hingga mereka tahu bahwa kita umat Muhammad saw. memiliki benteng. Umat makin tahu, penguasa saat ini bukanlah benteng bagi umat. Karena itu, umat Islam wajib bergerak dan menyerukan aspirasinya menuntut penguasa untuk bersikap layaknya penguasa mereka. Jangan sampai mereka menjadi penguasa “antek-antek” yang mengabdi dan membebek pada kepentingan Amerika sang penjajah dengan skenario “war on terrorism“, yakni perang melawan Islam dan kaum Muslim. Karena itu, demi kemulian Islam dan kaum Muslim, demi al-Quran dan Rasulullah saw. dan demi keridhaan Allah SWT; penuhilah seruan-seruan para pengemban dakwah yang mengajak untuk menegakkan kembali syariah.
Umar Syarifudin (Syabab Hizbut Tahrir Indonesia)
(*/arrahmah.com)