JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebuah universitas ternama Australia, Edith Cowan University (ECU) memberikan gelar professor (guru besar) bidang keamanan dan antiteror yang ke-2 kalinya kepada Da’i Bachtiar, mantan Kapolri dan Dubes RI untuk Malaysia.
Wakil Rektor ECU Professor Kerry O Cox menyerahkan sertifikat guru besar itu kepada Da’i disaksikan oleh Dubes Australia untuk Indonesia Greg Moriarty, rektor Univ Islam negeri Syarif Hidayatullah Komarudin Hidayat, mantan Kapolri dan mantan rektor Univ Pancasila Awaloedin Djamin di Jakarta, Jum’at sore (1/2/2013) seperti dilansir Antaranews.
Selain itu hadir pula mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan ketua Parsi (persatuan artis sinetron Indonesia) Anwar Fuadi.
Dubes Australia dan Prof Kerry mengatakan, pemberian gelar “dosen tamu” (adjunct professor) kepada Da’i karena kesuksesan mantan Kapolri kelahiran Indramayu, Jawa Barat, ini dalam membongkar jaringan pelaku bom Bali ke-1 tahun 2002 yang menelan korban jiwa di antaranya 88 warga Australia.
Selain itu, Da’i dinilai aktif dalam mendirikan sekolah dan pelatihan antiteror di Semarang yang dinamakan “Center for Law Enforcement Cooperation” (JCLEC). Banyak aparat kepolisian mancanegara belajar dan saling tukar menukar pengalaman di sana.
Mantan Kapolri ini juga aktif dan mendirikan yayasan LCKI (Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia) dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar mengenai pencegahan kejahatan di dalam negeri maupun di luar negeri.
“Ini merupakan pemberian gelar professor ke dua kalinya. Sebelumnya, Edith Cowan University di Perth, Australia, juga memberikan gelar professor bidang keamanan dan antiteror kepada saya pada tahun 2009,” kata Da’i.
Da’i Bachtiar yang juga mantan Gubernur Akademi Polisi Semarang selalu ingin berbagi pengalaman dalam membongkar jaringan terorisme ke berbagai penjuru dunia.
Ia membandingkan perbedaan dampak perang dengan teror. Menurut dia, dampak dari perang bisa diperhitungkan dan bisa diantisipasi. Tapi dampak dari teror sangat sulit diprediksi karena korban umumnya adalah rakyat yang tidak berdosa.
Menurut dia, ada tiga variabel yang menimbulkan terorisme, yakni ideologi, pengikut dan ketidakadilan. “Ideologi dan pengikut bisa diawasi, tapi yang namanya ketidakadilan ini sulit diprediksikan,” katanya.
Da’i berkata, “Jadi jangan sampai ada ketidakadilan yang mencolok mata sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi pengikut dalam suatu ideologi yang menggunakan teror dan kekerasan untuk mencapai keinginannya”. (bilal/arrahmah.com)