KENDARI (Arrahmah.com) – Mantan Komandan Distrik Militer 1417 Kendari Kolonel Kaveleri Hendi Suhendi mengatakan dirinya ikhlas menerima pemecatan dirinya dari jabatan Dandim 1417 Kendari.
“Saya prajurit yang setia dan hormat keputusan pimpinan. Saya dan keluarga ikhlas menerima keputusan komandan,” kata Hendi Suhendi didampingi istri di Kendari, Sabtu (12/10/2019).
Hendi Suhendi yang pernah bertugas sebagai atase darat pada KBRI di Moskow, Rusia pun siap menjalankan keputusan institusi.
“Sekali lagi saya mau katakan bahwa saya prajurit setia dan kesatria yang dididik bertanggungjawab dan patuh pada perintah komando,” ujarnya dilansir Antara.
Seremoni serah terima jabatan Komandan Distrik Militer 1417 Kendari dilangsungkan di Aula Sudirman Korem 143 Haluoleo.
Turut hadir jajaran Kodim se-Sultra, perwira Korem 143 Haluoleo, jajaran Danramil, Komandan Batalyon 725 Woroagi, anggota dan pengurus Persit.
Jabatan Komandan Distrik Militer 1417 Kendari, Sulawesi Tenggara diserahterimakan dari Kolonel Kaveleri Hendi Suhendi kepada Kolonel Infantri Alamsyah di Aula Sudirman Korem 143 Haluoleo.
Pergantian puncuk komando Distrik Militer 1417 Kendari terkesan mendadak menyusul keputusan hukuman Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Andika Perkasa yang memberhentikan Hendi Suhendi.
Diketahui, Kolonel Hendi Suhendi dipecat karena komentar istrinya terkait insiden penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto di Pandeglang, Banten.
Hendi Suhendi yang baru menjabat sekitar tiga bulan menggantikan Letkol Fajar Lutvi Haris Wijaya mendadak diberhentikan dari jabatan karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.
Selain dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian dari jabatan, Hendi Suhendi juga mendapatkan sanksi militer berupa penahanan selama 14 hari.
Sedangkan sang istri yang berinisial IPDN berkonsekuensi menjalani proses peradilan umum atas dugaan melanggar Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sementara itu, peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, kasus pencopotan dua anggota TNI akibat postingan istri mereka harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Menurut dia, seharusnya ada penyelidikan terlebih dahulu sebelum pemberian hukuman disiplin.
Khairul menuturkan, perdebatan publik soal pencopotan Kolonel Hendi Suhendi yang menjabat Dandim Kendari bisa dipahami. Sebab, belum ada tindakan penegakan hukum apa pun di samping unggahan yang juga tak menyebutkan Wiranto.
Ia melanjutkan, secara normatif, dipertanyakan sebenarnya apa ada tanggung renteng selain dalam urusan utang-piutang. Apalagi istri kedua prajurit sebenarnya berstatus sipil dengan segala hak sipil yang melekat, termasuk hak politik dan kewajiban untuk mematuhi segala hukum yang berlaku.
Khairul menilai, kasus pencopotan Dandim Kendari ini menunjukkan bahwa peraturan disiplin militer sarat dengan ketentuan-ketentuan karet, multitafsir, dan sangat mungkin digunakan untuk tidak saja mengelola kepatuhan.
Lebih dari itu, lanjutnya, dapat digunakan untuk menakut-menakuti dan mengintimidasi prajurit dan keluarganya, serta menganggap keluarga prajurit (sipil sekalipun) adalah subordinat TNI.
(ameera/arrahmah.com)