“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, Padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan, ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, Padahal ia bukan dari sisi Allah. mereka berkata Dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 78)
***
Popularitas boleh jadi bisa membuat seseorang kurang waspada, kurang hati-hati alias ngawur, bahkan terpeleset menjadi memperturutkan hawa nafsu. Kondisi seperti itu, kemungkinan juga menghinggapi para agamawan, atau ‘ulama, atau ustadz-ustadzah, terutama mereka yang telah menjelma menjadi semacam selebritas.
Mamah Dedeh
Salah satu mata acara keagamaan (Islam) yang cukup populer adalah “Mamah dan Aa” yang tayang di TV Indosiar hampir setiap hari mulai pukul 05:00 wib hingga 06:00 WIB. Narasumbernya, ustadzah wanita yang biasa disapa dengan Mamah Dedeh, didampingi comedian/pelawak Abdel yang disapa dengan Aa.
Dalam Islam, para pelawak adalah termasuk jenis orang yang dikecam oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berkali-kali dinyatakan celakalah baginya, celakalah baginya…
عن بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ (الترمذي وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
Dari Bahz bin Hakim, bahwa bapaknya telah bercerita kepadanya dari kakeknya, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara dengan satu pembicaraan agar menjadikan tertawanya kaum, maka ia berdusta, celakalah baginya, celakalah baginya.”(Hadits Hasan Riwayat At-Tirmidzi)
( وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ ) كَرَّرَهُ إِيذَانًا بِشِدَّةِ هَلَكَتِهِ , وَذَلِكَ لِأَنَّ الْكَذِبَ وَحْدَهُ رَأْسُ كُلِّ مَذْمُومٍ وَجِمَاعُ كُلِّ شَرٍّ .
Celakalah baginya, celakalah baginya; kata-kata ini diulang-ulang (oleh Nabi saw) menunjukkan sangat keras kerusakannya. Hal itu karena bohong itu sendiri adalah pangkal segala yang tercela dan pusat segala keburukan. (Al-Mubarakafuri, Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Jami’ At-Tirmidzi, juz 6 halaman 498).
Sementara itu da’i ataupun muballigh atau yang mengajak ke jalan Allah itu sangat terpuji dalam Islam. Sehingga ketika menggandengkan pelawak (yang sebegitu dicelanya hingga diulang-ulang lafal celaka baginya), namun kini justru digandengakan dengan da’wah Islamiyah itu sangat menistakan Islam, dan bertentangan dengan Islam. Karena da’wah itu aslinya sangat terpuji.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ [فصلت/33، 34]
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, …” (QS. Fusshilat [41] : 33-34)
Ketika da’wah dipandu oleh pelawak atau sejenisnya seperti penyanyi dan semacamnya, atau da’i lelaki dipandu pembawa acara wanita dan sebaliknya, maka itu bukan lagi da’wah Islam namun adalah perusakan Islam. Seandainya materi yang disampaikan da’i itu benar pun sudah bukan da’wah yang benar. Apalagi dalam kasus ini materi yang disampaikan berdasar silat lidah, maka lebih berbahaya lagi.
Pada salah satu episode, Mamah Dedeh mengatakan bahwa ia setuju dengan tahlilan. Alasannya, ketika suaminya meninggal, ia tidak merasa kesepian karena ada sejumlah orang yang ‘menemaninya’ melalui prosesi tahlilan yang digelarnya.
Pendapat seperti itu, bagi komunitas yang terbiasa mempraktekkan bid’ah tentu biasa saja. Tentu menjadi tidak biasa bila pendapat itu disampaikan oleh sosok yang terlanjur diposisikan sebagai ‘ulama. Seharusnya, keberpihakannya pada prosesi tahlilan, bisa dijelaskan dengan dalil yang syar’i, bukan berlandaskan sesuatu yang subyektif.
Tahlilan dikategorikan bid’ah, karena tidak ada contohnya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ada rujukan salah satu hadits sahih, kumpul-kumpul di rumah keluarga Si Mayit serta menyediakan makanan buat yang kumpul-kumpul itu merupakan macam niyahah (meratap yang hukumnya dilarang), karena menyusahkan keluarga Si Mayit dan mengingatkan mereka kepada si mayit, juga bertentangan dengan sunnah Rasul.
Jarir ibnu Abdillah berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Artinya: “Kami menganggap kumpul-kumpul ke (rumah) keluarga si mayit dan penyediaan makanan setelah penguburan si mayit merupakan bagian dari niyahah (meratap).” (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Niyahah itu merupakan dosa besar, Rasulullah saw berkata:
اَلنَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْباَلٌ مِنْ قَطِرَانٍ
Artinya: “Wanita yang meratapi (mayit) jika dia tidak taubat sebelum dia meninggal maka dia dibangkitkan di hari kiamat (dalam keadaan di azab) dengan mengenakan pakaian dari cairan tembaga yang meleleh.” (HR. Muslim)
Meski tidak disertai dengan tangisan atau ratapan, aktivitas kumpul-kumpul yang seperti itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang menyalahi petunjuk Rasulullah saw.
Lebih parah lagi, bila pada saat kumpul-kumpul itu, tuan rumah yang sedang berduka justru dibebani dengan sejumlah kerepotan berupa menghidangkan suguhan bagi orang-orang yang hadir, meski dengan maksud ta’ziyah dan diisi dengan membaca Al-Qur’an dan shalawat Nabi saw.
Mungkin bagi mereka yang punya banyak uang, menggelar tahlilan bukan persoalan, dari segi ekonomi atau pengeluaran biaya. Namun bagaimana dengan yang tidak berpunya? Karena mereka ‘didoktrin’ seolah-olah tahlilan itu ‘wajib’, maka mereka tetap akan berusaha menggelar tahlilan meski harus berhutang kiri-kanan.
Dampak sosial seperti inilah yang boleh jadi tidak terfikir oleh sang ustadzah, sehingga dengan ringan ia berani mempublikasikan pendapat dan keberpihakannya terhadap prosesi bid’ah tahlilan tanpa landasan hadits yang shahih, tetapi hanya berlandaskan pendapat pribadi. Ini sama dengan beragama mengikuti hawa nafsu.
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [القصص/50]
“…dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashash [28] : 50)
Selain berpendapat soal tahlilan, Mamah Dedeh juga berpendapat soal adzan yang dikumandangkan sesaat setelah mayit dimasukkan ke dalam liang lahat. Menurut ustadzah kondang ini, adzan yang seperti itu bermanfaat karena ditujukan untuk menggugah orang-orang yang hadir di pemakaman untuk mengingat kematian, terutama yang selama ini belum mengerjakan shalat, semoga tergerak hatinya untuk shalat.
Pendapat seperti itu jelas pendapat pribadi yang subyektif, tidak dilandasi dalil yang syar’i serta tidak merujuk kepada pendapat ulama terdahulu. Menurut Ibnu Hajar al Haitsami, adzan yang dikumandangkan di telinga jenazah orang meninggal atau di kuburan adalah sesuatu yang bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
Said Agil Siradj
Said Agil Siradj Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) periode 2010-2015 pernah mengatakan, bahwa “…situs porno secara hukum fikih tak berdosa, hanya makruh. Yang dosa itu yang membuat dan menjadi bintang porno…” Alasannya, menurut Said Agil, madharat situs porno hanya berdampak individual, berbeda dengan situs radikal berefek sosial. (http://www.lintas-kabar.com/2011/09/29/pbnu-situs-porno-tak-berdosa-situs-jihad-merusak-iman/)
Pendapat seperti itu jelas gegabah, tidak mendasarkan pada kaidah syar’iyah dan ilmiah. Karena sudah sejak lama masyarakat mengetahui dan merasakan adanya dampak yang dihasilkan dari maraknya situs porno. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hendra Wahyu Kurnia (2002), antara lain menemukan adanya dampak psikologis (kognitif, afektif, dan behavior).
Menurut Hendra, dampak psikologis dari penggunaan situs porno di Internet dari aspek kognitifnya ialah dapat membuat seseorang cenderung selalu memikirkan hal-hal yang berbau erotis dan berfantasi seksual ketika membuka situs porno. Sedangkan dari aspek afektifnya ialah akan timbul perasaan terangsang dan ingin melakukan hubungan seksual atau meniru kontak seksual seperti apa yang dilihat subyek dalam situs porno tersebut. Ketiga, dari aspek behavior atau tingkah lakunya, sesudah membuka situs porno maka subyek langsung melakukan masturbasi dengan melihat gambar yang ada di Internet.
Begitulah gambaran madharat individual yang ditemukan berdasarkan penelitian ilmiah, dampak buruk dari situs porno, yang oleh Said Agil Siradj dibilang makruh. Sementara itu, dalam perspektif Islam, cenderung memikirkan hal-hal yang berbau erotis dan berfantasi seksual termasuk zina (hati, perasaan, jiwa).
1550 حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ *
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, ‘Allah subhanahu wata’ala telah mencatat bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan lagi, di mana dia akan melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk pertuturan, zina perasaan yaitu bercita-cita dan berkeinginan mendapatkannya manakala kemaluanlah yang menentukannya berlaku atau tidak’.” (Muttafaq ‘alaih)
Begitu juga dengan timbulnya keinginan meniru atau bahkan keinginan melakukan hubungan seksual akibat terangsang setelah mengunjungi situs porno, juga termasuk zina (hati, perasaan, jiwa). Apalagi yang ketiga, yaitu langsung melakukan masturbasi setelah melihat situs porno.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكُلِّ بَنِي آدَمَ حَظٌّ مِنْ الزِّنَا فَالْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ يَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي وَزِنَاهُ الْقُبَلُ وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ (رواه أحمد, تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط مسلم )
Dari Abu Hurairah, dia berkata; “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda, ‘Setiap anak cucu Adam telah tertulis bagiannya dari zina, maka kedua mata berbuat zina dan zina mata adalah melihat, kedua tangan berzina dan zina kedua tangan adalah memegang, kedua kaki berzina dan zina kedua kaki adalah melangkah, mulut berzina dan zina mulut adalah mengucapkan, hati berharap dan berangan-angan, adapun kemaluan ia yang membenarkan atau mendustakannya’.” (HR. Ahmad No. 8170, komentar Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, sanadnya shahih atas syarat Muslim)
Zina adalah salah satu dosa besar;Termasuk tiga dosa terbesar
Orang yang sudah pernah nikah dan berhubungan badan Suami Isteri kalau berzina (baik laki-laki maupun perempuan) maka halal darahnya alias hukumannya adalah hukum bunuh yakni dengan dirajam (dilempari dengan batu-batu sampai mati), masih pula bila berzinanya itu dengan Isteri tetangga maka tingkatannya pada rangking tiga dosa terbesar. Dalam hadits ditegaskan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قَالَ قُلْتُ لَهُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ (أحمد ، والبخارى ، ومسلم ، وأبو داود ، والترمذى ، والنسائى عن ابن مسعود)
Dari Abdullah dia berkata, “Aku bertanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kamu membuat tandingan bagi Allah (syirik), sedangkan Dialah yang menciptakanmu.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi?’ Beliau bersabda, ‘Kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kamu berzina dengan isteri tetanggamu’.” (HR. Bukhari, Muslim No. 124, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai dari Ibnu Mas’ud)
Manjadikan halal darahnya
Sebegitu dahsyatnya dampak buruk zina terhadap kehidupan pelakunya maupun masyarakat yang tertular. Maka sangat masuk akal ketika Allah Ta’ala lewat nabi-Nya menegaskan halal darahnya bagi orang yang pernah nikah secara sah dan telah menikmati hubungan Suami Isteri namun kemudian berzina.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
Dari Abdullah mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Darah seorang muslim yang telah bersyahadat laa-ilaaha-illallah dan mengakui bahwa aku utusan Allah terlarang ditumpahkan selain karena alasan diantara tiga; membunuh, berzina dan dia telah pernah menikah, dan meninggalkan agama (murtad), meninggalkan jamaah muslimin.” (HR. Al-Bukhari No. 6370)
Dalam hukum Islam, sarana (wasilah) kepada yang haram itu termasuk haram. Ketika zina itu hukumnya haram, maka sarana yang mengakibatkan zina hukumnya haram juga. Apalagi Allah Ta’ala telah menegaskan,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسراء/32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’ [17] : 32)
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya, At-Taisir, menjelaskan: Dan larangan mendekati zina itu lebih mencakup (ablagh) daripada larangan hanya perbuatan zina itu sendiri, karena yang demikian itu mencakup larangan terhadap seluruh awalan-awalannya, dan faktor-faktor yang menyebabkan zina. Karena “siapa yang menggembala sekitar daerah larangan maka dia hampir jatuh ke dalamnya”, terutama masalah ini, yang dalam banyak jiwa adalah penyebab paling kuat untuk itu.
Allah mensifati buruknya zina dengan: { كَانَ فَاحِشَةً } adalah suatu perbuatan yang keji, artinya, dosa yang dinilai buruk dalam syari’at, akal, dan fitrah (naluri); karena kandungannya adalah pelanggaran atas keharaman di dalam hak Allah, hak perempuan, hak keluarga perempuan atau Suaminya; dan merusak tikar (kehormatan Suami Isteri), mencampur aduk keturunan, dan keburukan-keburukan lainnya. (Tafsir As-Sa’di, juz 1 halaman 457)
وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ [الأنعام/151]
“…dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, …” (QS. Al-An’am [6] : 151)
Anehnya, situs porno yang tergolong diakui berakibat (sama dengan menjadi sarana) perbuatan zina yang dosa besar itu, menurut Said Agil Siradj ‘hanya’ makruh. Ungkapannya itu dapat dimaknai hanya sejajar dengan sekadar makan pete atau jengkol yang tergolong makruh. Astaghfirullah…
Jadi, bila kita mengikuti pola pikir Said Agil Siradj, yang mengatakan bahwa situs porno makruh, tetapi yang berdosa hanya Si Pembuat Situs dan Pemeran (bintang) film porno saja; maka dalam konteks pete-jengkol yang makruh, maka para petani pete-jengkol dan penjual pete-jengkol bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang berdosa. Seperti pembuat situs porno atau pemeran film porno. Begitu juga dengan Ibu-ibu yang membuat rendang jengkol atau semur jengkol, bisa dikategorikan berdosa, bila menuruti pola pikir Said Agil Siradj yang sejak 1999 dinobatkan sebagai Penasehat PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) ini.
Mudah-mudahan saja para petani-jengkol dan Ibu-ibu produsen semur-rendang jengkol tidak melakukan unjuk rasa di depan kantor PBNU tempat Said Agil Siradj berkiprah, karena secara tersirat mereka sama dengan disejajarkan posisinya dengan pembuat situs porno dan pemeran film porno.
Dampak individual atau dampak psikologis yang dihasilkan situs porno sudah sedemikian dahsyatnya dalam perspektif Islam, apalagi dampak sosialnya. Menurut Richard Kartawijaya, Wakil Presiden Asosiasi Piranti Lunak dan Telematika Indonesia (2001), “…beberapa penelitian mengungkapkan bahwa situs porno mendorong terjadinya tindak kriminal dan perilaku seks menyimpang.” (http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=3733&s=644d350e39d579277ccc080b27129fd6)
Begitulah faktanya. Popularitas kadang dapat membuat seseorang —yang istilahnya lagi naik daun— menjadi gegabah, asal bunyi (membuka mulut untuk bersuara tanpa perhitungan matang), ngawur dan mengikuti hawa nafsu, seraya mengabaikan akal sehat yang masih bersemayam di benak masyarakat Islam.
Celakanya, entah karena masyarakat sudah terbiasa dibodohi atau sebab musabab yang lain, seakan kenyataan ini dimaklumi, ketika yang terjadi justru yang ngawur yang populer. Padahal mereka berbicara ngawur itu dalam hal agama Allah, sedangkan hakekatnya pendapat ngawur mereka itu adalah menganggap tidak berdosa sesuatu yang berdosa. Itu sama sekali bukan seperti mujtahid yang berijtihad, ketika salah mendapat pahala satu dan bila benar mendapat pahala dua. Tidak. Karena mereka ini bukan menempuh jalan ijtihad yakni mencurahkan sekuat daya kemampuan tenaga pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dari sisi kesungguhan mencurahkan kemampuan tenaga pikiran, tidak ditempuh. Dari sisi berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah pun tidak tampak. Sehingga ketika tenyata justru menganggap tidak berdosa sesuatu yang mengandung dosa, tanpa landasan, maka sama dengan berkata atas nama Allah (karena berkata tentang agama Allah) tanpa bukti bahwa itu dari Allah. Ada ancaman keras dari Allah Ta’ala:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (116) مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ [النحل/116، 117]
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.(Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nahl [16] : 116-117)