WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sudan mesti gigit jari. Harapan yang diberikan salah seorang pejabat tinggi AS dimentahkan oleh pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton. Clinton mengatakan pada hari Jumat (31/7) bahwa tidak ada satu pun keputusan yang telah diambil untuk meringankan beberapa sanksi atas Sudan.
Pernyataan ini diumumkan sehari setelah utusan khusus AS untuk Sudan, Jenderal Scott Gration, seolah-olah memberikan harapan pada pemerintahan munafik Sudan untuk membantu negosiasi mereka dengan AS.
Gration mengatakan pada hari Kamis (30/7) bahwa ia tidak memahami apapun yang membenarkan Sudan masuk dalam daftar negara pendukung terorisme, sebuah tuduhan yang bisa menyebabkan diberikannya sanksi dan embargo bantuan.
Ketika ditanyakan apakah pemerintah AS benar-benar mempertimbangkan langkah tersebut, Clinton menjawab: “Kami belum membuat keputusan apa-apa untuk menghapus Sudan dari daftar.”
Dia menunjukkan pengkajian ulang yang sedang dilakukan oleh administrasi Obama mengenai kebijakannya terhadap Sudan. “Namun belum diambil keputusan apapun,” tegasnya dalam konferensi pers bersama dengan menteri luar negeri Saudi Arabia.
Gration, dalam testimoninya di hadapan dewan legislatif, mengatakan sanksi AS terhadap Sudan sangat tidak produktif ketika AS ingin membawa perdamaian bagi negeri tersebut, sembari merekomendasikan agar Washington menghapuskan sanksi terhadap Khartoum.
Saat ditanya mengenai pernyataan Gration, juru bicara departemen luar negeri AS, P.J. Crowley, mengatakan bahwa Sudan (yang ditempatkan dalam daftar terorisme sejak 1993) beberapa tahun ini memang Sudan telah mengembangkan kerja samanya dengan AS dalam usaha melawan terorisme.
Ia mengatakan isu ini dan isu-isu lainnya merupakan bagian dari pengkajian ulang kebijakan AS terhadap Sudan, yang menurutnya akan dirampungkan dalam beberapa minggu lagi.
Ada banyak perdebatan di dalam tubuh administrasi Obama mengenai bagaimana bekerja sama dengan pemerintah Sudan dan apa yang sedang terjadi di wilayah barat Darfur, yang dilabeli Bush sebagai pembantaian.
Namun, demi menjaga citra Obama yang lebih ‘smooth’ dalam melakukan imperialismenya di negeri-negeri muslim, Crowley menolak pelabelan tersebut. Ia mengklaim bahwa fokus masalahnya belum terdefiniskan sehingga konflik Darfur itu tidak bisa sembarangan disebut genosida. (Althaf/arrahmah.com)