DUSHBANE (Arrahmah.com) – Menteri luar negeri AS, Hillary Clinton, memperingatkan Tajikistan pada hari Sabtu (22/10/2011) bahwa usaha untuk merusak kebebasan beragama yang dilakukan oleh pemerintah akan berpeluang menyulut simpati masyarakat kepada pemikiran radikal yang dinilai berdampak sebagai ancaman bagi keamanan di negara Asia Tengah itu.
Clinton yang bertemu dengan Presiden Tajik, Imomali Rakhmon dalam kunjungan terima kasihnya ke dua negara Asia Tengah karena mau bekerja sama dalam erang AS di Afghanistan, mengatakan bahwa kebebasan beragama terkait dengan keamanan masa depan wilayah Tajikistan dan sekitarnya.
“Saya tidak sepakat dengan larangan terhadap kebebasan beragama dan saya meminta agar hal ini menjadi kecemasan bersama,” kata Clinton dalam konferensi pers setelah bertemu Rakhmon.
Dia mengatakan, upaya untuk mengatur ketat kebebasan beragama “bisa mendorong masyarakat untuk mengekspresikan agamanya secara bawah tanah, dan bisa membangun banyak kerusuhan dan ketidakpuasan.”
Setelah ke Afghanistan dan Pakistan, kunjungan ini merupakan yang pertama Clinton ke wilayah Asia Tengah lainnya. Ia juga mengunjungi Uzbekistan dan bertemu Presiden Islam Karimov.
Karimov dan Rakhmon merupakan salah satu dari sekian penguasa negeri muslim yang membatasi kegiatan beragama di negara mereka sendiri. Para penguasa ini berkuasa secara otoriter selama dua dekade setelah negara ini muncul dari pecahnya Uni Soviet.
Tajikistan, merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yakni 7,5 juta orang. Pada bulan Agustus, negara ini memberlakukan kebijakan untuk melarang para pemuda shalat di masjid-masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya.
Rakhmon, yang berkuasa sejak 1992, mengatakan tindakan tegas itu diperlukan untuk menghentikan penyebaran fundamentalisme agama di Tajikistan, negara miskin yang berbatasan dengan Afghanistan.
“Anda harus melihat konsekuensinya,” kata Clinton. “Kami berharap akan ada pembahasan ulang dari setiap pembatasan tersebut, karena kami pikir hal itu hanya akan meningkatkan simpati terhadap pandangan ekstremis yang pada gilirannya akan mengancam stabilitas dan keamanan negara.”
Pemerintah sekuler Rakhmon yang didukung oleh Moskow pernah bentrok dengan oposisi Islam selama perang sipil 1992-1997, di mana puluhan ribu orang terbunuh. (althaf/arrahmah.com)