XINJIANG (Arrahmah.id) — Otoritas Cina melarang sebagian besar warga Uighur untuk menjalankan ibadah di masjid di wilayah Xinjiang. Bahkan, otoritas setempat juga melarang mereka untuk beribadah di rumah mereka selama liburan Idul Fitri yang menandai akhir bulan suci Ramadan, lapor Radio Free Asia (27/4/2023).
Warga yang berusia 60 tahun ke atas ada yang diizinkan untuk shalat di masjid lokal di bawah pengawasan ketat polisi selama Idul Fitri yang jatuh pada 20-21 April 2023. Belum diketahui sanksi apa yang diberikan kepada setiap orang yang melanggar peraturan tersebut.
Sejak 2017 lalu, Cina telah membatasi atau melarang adat etnis dan ritual keagamaan yang dilakukan oleh warga Uighur yang mayoritas muslim. Hal ini bertujuan untuk membasmi “ekstremisme agama” seperti yang diklaim Pemerintah Cina.
Selama Idul Fitri pada 2023, pihak berwenang di Xinjiang berpatroli di jalan-jalan kota dan menggeledah rumah untuk mencegah orang-orang shalat diam-diam di rumah mereka.
Seorang staf administrasi dari kota Yarkowruk di Prefektur Akesu mengatakan satu masjid di sana dibuka untuk shalat Idul Fitri.
“Petugas polisi kami pergi ke masjid untuk mengawasi orang-orang,” kata petugas itu. “Saya tidak tahu apakah orang perlu izin untuk pergi ke masjid karena saya tidak pergi ke sana,” tambahnya, dilansir Radio Free Asia.
Hanya ada satu masjid yang dibuka untuk shalat Idul Fitri di wilayah Bulung, Kabupaten Bay, kata seorang petugas di kantor polisi setempat. Walau begitu, hanya penduduk berusia di atas 60 tahun yang diizinkan untuk shalat jika mereka mau.
Pemerintah mengeluarkan pemberitahuan bahwa orang yang berusia di bawah 60 tahun tidak bisa shalat pada hari raya Idul Fitri, tambahnya. Hanya belasan lansia dari etnis Uighur di Bulung yang menghadiri shalat Idul Fitri di sebuah masjid ketika tiga petugas polisi dan beberapa staf pembantu polisi mengamati dan mencatat nama-nama yang masuk.
“Masjid dibuka kemarin, dan kami pergi ke sana untuk mengawasi orang-orang,” kata petugas polisi tersebut, dilansir Radio Free Asia. Polisi itu seraya juga mengonfirmasi bahwa penduduk di bawah 60 tahun tidak bisa pergi ke masjid.
Tindakan Cina sebenarnya telah menjadi perhatian internasional, salah satunya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walau begitu, utusan PBB dikabarkan kerap dihalangi Cina ketika akan melakukan penyelidikan.
Di sisi lain, dalam laporan klarifikasi Kementerian Luar Negeri Cina terkait situasi di Xinjiang, Cina menyatakan apa yang mereka lakukan merupakan bentuk melawan ekstremisme di teritorialnya. Laporan tersebut menyebut contoh aksi terorisme yang terjadi di Urumqi pada 2014 lalu.
Cina juga memberikan contoh kasus pembunuhan kepala sekolah di Kashgar Prefecture yang bernama Niyaz Abdurexiti yang dibunuh akibat mengajarkan teori evolusi. Cina juga menjelaskan pemerintahannya sedang melakukan pendidikan vokasi demi meredam ekstremisme agama. (hanoum/arrahmah.id)