XINJIANG (Arrahmah.com) – Pemerintah Cina semakin gencar melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur yang tinggal di luar negeri. Setidaknya ada 28 negara yang terlibat dan mendukung tindakan pemerintah Cina tersebut, ungkap sebuah laporan mengenai penindasan transnasional terhadap sebagian besar kelompok minoritas Muslim.
Laporan yang disusun oleh Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) dan Oxus Society for Central Asian Affairs mencatat berbagai bentuk penindasan yang dilakukan Cina terhadap Muslim Uighur, yang didapatkan dari sumber publik seperti dokumen pemerintah, laporan dari lembaga hak asasi manusia, dan laporan dari kantor berita kredibel, untuk membangun analisis rinci serta perluasan skala dan ruang lingkup represi global Cina.
Cina menggunakan berbagai cara untuk menindas Muslim Uighur yang tinggal di luar negeri, seperti spionase, serangan siber, melakukan ancaman lewat telepon untuk pejabat Cina, serangan fisik, dan rendisi, ungkap laporan tersebut.
Beberapa orang telah melaporkan mendapat ancaman setelah berbicara secara terbuka mengenai hak asasi Muslim Uighur yang tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Beberapa orang lainnya mengaku bahwa mereka dipaksa untuk memata-matai komunitas diaspora Uighur atas nama pemerintah Cina.
Laporan itu menyebutkan bahwa penindasan transnasional merupakan bentuk otoritarianisme global yang mengancam dan dapat mengikis norma-norma demokrasi di seluruh dunia. Oleh karena itu, menghentikan penindasan yang dilakukan pemerintah Cina tersebut tidak hanya menjadi keharusan moral, tetapi juga penting untuk menjaga kedaulatan negara serta integritas organisasi internasional seperti Interpol dan Komisari Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Dilansir RFA pada Jumat (25/6/2021), laporan yang berjudul “Tidak Ada Ruang yang Tersisa untuk Berlari: Represi Transnasional Cina terhadap Uighur” tersebut mencatat sebanyak 1.546 kasus penahanan dan deportasi Muslim Uighur dari 28 negara sejak tahun 1997 hingga Maret 2021.
Dari total kasus tersebut, terdapat 1.151 kasus warga Uighur yang ditahan oleh negara tuan rumah, dan 395 kasus warga Uighur yang dideportasi, diekstradisi atau dikembalikan ke Cina.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa penindasan transnasional Cina terhadap diaspora Uighur meningkat dari tahun ke tahun, dan ada peningkatan drastis setelah diberlakukannya sistem pengawasan massal di XUAR pada tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan korelasi antara penindasan di dalam dan luar negeri.
“Meskipun Cina telah meneror diaspora Uighur selama beberapa dekade, namun terdapat peningkatan yang sangat drastis sejak 2017, sebab kebijakan di wilayah Uighur semakin represif,” kata Bradley Jardine, direktur penelitian di Oxus Society for Central Asian Affairs.
“Data menunjukkan bahwa meski telah berada jauh dari batas teritorial negara yang melakukan kampanye kekerasan, namun teknologi pengawasan canggih yang dimiliki Xinjiang benar-benar menjadi masalah global, sebab melintasi batas-batas internasional dan melanggar hak asasi manusia kemanapun mereka pergi,” terang Jardine. (rafa/arrahmah.com)