XINJIANG (Arrahmah.id) – Cina jatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap seorang cendekiawan terkemuka sekaligus aktivis pemerhati hak minoritas Muslim Uighur, Rahile Dawut.
Putusan hukuman tersebut mencuat setelah Dui Hua Foundation, sebuah kelompok hak asasi manusia (HAM), menyebut bahwa Rahile Dawut dihukum seumur hidup karena dinilai membahayakan keamanan.
Mengetahui hal tersebut, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan kecaman terhadap otoritas Cina. Mereka meminta agar Rahile Dawut segera dibebaskan.
Rahile Dawut merupakan profesor yang dikenal karena mendokumentasikan cerita rakyat dan tradisi minoritas Muslim di wilayah Xinjiang, barat laut Cina. Ia diyakini telah ditahan sejak 2017 bersama dengan 300 orang Uighur dan intelektual Muslim lainnya.
Laporan itu mendokumentasikan tindak penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif pemerintah Cina dengan dalih penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme.
Laporan itu juga menyebut soal penangkapan dan pemenjaraan para cendekiawan, seniman, hingga intelektual terkemuka dari komunitas Uighur.
“[Rahile Dawut dan intelektual Uighur lainnya] telah dipenjara secara tidak adil karena melindungi dan melestarikan budaya dan tradisi Uighur,” kata juru bicara Kemlu AS Matthew Miller dalam sebuah pernyataan.
“Hukuman seumur hidup Profesor Dawut adalah bagian dari upaya yang jelas lebih luas oleh Cina guna memberantas identitas dan budaya Uighur serta merusak kebebasan akademik, termasuk lewat penahanan dan penghilangan,” lanjutnya seperti dikutip CNN pada Senin (2/10/2023).
Pernyataan AS ini mengingatkan kembali laporan dari kantor HAM tertinggi PBB tahun lalu yang menunjukkan bahwa Cina telah melakukan “pelanggaran HAM serius”, yang kemungkinan menjelma sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” bagi warga Uighur.
Sejak dulu, pemerintah Cina dituding menahan lebih dari satu juta orang Uighur dan orang-orang mayoritas Muslim lainnya untuk di tempatkan di kamp-kamp guna mendoktrinkan nilai-nilai kebudayaan Cina.
Pada mulanya, otoritas Cina membantah membuat kamp-kamp semacam itu. Namun tak lama, Beijing mengaku membangun fasilitas tersebut untuk dijadikan “pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan.”
Beijing juga membantah melakukan pelanggaran HAM dalam kamp-kamp tersebut.
Sementara itu, pada tahun lalu, Cina bahkan mengatakan kepada tim PBB yang datang berkunjung bahwa kamp-kamp itu kini sudah ditutup. Hingga saat ini, klaim Beijing itu belum bisa diverifikasi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina sejauh ini mengaku tak tahu soal situasi yang terjadi. Ia hanya menegaskan bahwa “Cina adalah negara supremasi hukum.” (rafa/arrahmah.id)