BEIJING (Arrahmah.id) — Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan bahwa Kepala Hak Asasi Manusia PBB dipersilakan untuk mengunjungi Xinjiang, tetapi tidak untuk tujuan penyelidikan.
Dalam konferensi pers rutin pada Jumat (28/1/2022), juru bicara Kemlu Cina Zhao Lijian mengatakan bahwa undangan ke Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet telah diperpanjang sejak lama untuk tujuan pertukaran dan kerja sama. Namun, ia menegaskan bahwa Cina menentang upaya menjadikan kunjungan tersebut dasar manipulasi politik.
Kelompok hak asasi manusia menuduh Cina melakukan pelanggaran besar-besaran terhadap warga muslim Uighur dan kelompok minoritas lainnya di wilayah barat jauh Xinjiang, termasuk penahanan massal, penyiksaan, dan kerja paksa.
Amerika Serikat menuduh Cina melakukan genosida.
Beijing membantah semua tuduhan pelecehan terhadap muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya, dan menyebut kebijakannya diperlukan untuk memerangi ekstremisme agama.
Dilansir South China Morning Post (27/1), persetujuan Cina untuk kunjungan Bachelet diberikan pasca Olimpiade Musim Dingin selesai pada 20 Februari. Itu pun diberikan dengan syarat harus dilakukan dengan “bersahabat” dan tidak dibingkai sebagai penyelidikan.
Beijing telah meminta kantor Bachelet untuk tidak mempublikasikan laporan tentang situasi di Xinjiang, menurut laporan surat kabar itu.
Pada Desember tahun lalu, juru bicara Bachelet mengatakan bahwa kantornya sedang menyelesaikan penilaiannya terhadap situasi tersebut.
Seperti pada 2008, Olimpiade kembali menyoroti catatan hak asasi manusia Cina, yang menurut para kritikus telah memburuk sejak itu, membuat Washington menyebut perlakuan Beijing terhadap muslim Uighur sebagai genosida dan mendorong boikot diplomatik oleh AS dan negara-negara lain.
“Tidak seorang pun, terutama diplomat hak asasi manusia terkemuka di dunia, bisa tertipu oleh upaya pemerintah Cina untuk mengalihkan perhatian dari kejahatannya terhadap kemanusiaan yang menargetkan Uighur dan komunitas Turki lainnya,” kata direktur Human Rights Watch wilayah China Sophie Richardson, dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Reuters (28/1). (hanoum/arrahmah.id)