BEIJING (Arrahmah.com) – Cina telah mengeksekusi sembilan orang, termasuk delapan dari kalangan minoritas Muslim Uighur, dengan tuduhan kejahatan yang dilakukan selama kerusuhan awal bulan Juli lalu yang menewaskan 200 orang di Urumqi, Xinjiang.
Muslim Uighur seringkali menjadi korban diskriminasi kebijakan pemerintah Cina dan juga korban kekejian etnis Cina mayoritas Han.
Empat bulan setelah kerusuhan, Xinjiang tetap menjadi wilayah yang penuh dengan masalah. Pemerintah mengebiri akses internet dan memblokir sebagian besar panggilan internasional.
Layanan berita resmi Cina melaporkan pada Senin (9/11) bahwa sembilan orang dieksekusi setelah Mahkamah Agung Rakyat melakukan peninjauan akhir, tetapi tidak memberikan tanggal yang spesifik atau informasi terperinci lainnya.
Cina menuduh aktivis Uighur, Rebiya Kadeer, yang saat ini tinggal di AS dan kelompok-kelompok internasional pembela hak-hak muslim Uighur telah mengobarkan kekerasan, meskipun tuduhan itu dikeluarkan tanpa bukti.
Kadeer menolak tuduhan Cina. Ia mengatakan pertempuran Juli itu terjadi akibat frustrasi terpendam atas diskriminasi dan upaya pemerintah lainnya untuk menumbangkan agama dan budaya muslim Uighur.
Pemerintah Cina sendiri mengklaim bahwa Uighur memperoleh manfaat dari perkembangan ekonomi Xinjiang yang cepat, tapi menurut para aktivis Uighur, sebagian besar keuntungan itu telah dimonopoli oleh kaum migran Han yang telah membanjiri daerah asal mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Sejumlah besar muslim Uighur telah melarikan diri ke luar negeri untuk melepaskan diri dari berbagai macam penindasan, dan pasukan Amerika menangkap 22 orang Uighur di Afghanistan dan Pakistan pada tahun 2001 dengan tuduhan terorisme yang tak berdasar sama sekali. Mereka akhirnya dibawa ke penjara di Guantanamo, di mana mereka ditahan tanpa diadili.
Aktivis Uighur di luar negeri, Dilxat Raxit, mengecam eksekusi tersebut dan mengatakan bahwa motif politik dan keberpihakan pemerintah Cina terhadap Han ada di balik eksekusi itu.
“Kami kira, mereka tidak mendapat persidangan yang adil, dan kami percaya ini adalah keputusan politik,” kata Raxit, yang menjabat sebagai juru bicara Kongres Uighur Dunia yang berbasis di Jerman.
“Amerika Serikat dan Uni Eropa seperti tidak memiliki kemampuan untuk mendesak Cina atau bahkan campur tangan, dan untuk itu kami sangat kecewa,” katanya.
Raxit mengatakan para terpidana mati ini dilarang memperoleh kunjungan terakhir dari anggota keluarga mereka. (althaf/ansr/arrahmah.com)