BEIJING (Arrahmah.com) — Tekanan yang diberikan pemerintah Cina pada etnis Uighur ternyata tak hanya terjadi di dalam negeri saja. Sebuah laporan menyebutkan kalau Beijing juga melakukan tekanan pada etnis Uighur yang tinggal di 22 negara.
Menurut sebuah laporan dari Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, agen-agen Cina telah melacak, melecehkan, dan mengancam anggota komunitas Muslim Uighur di 22 negara.
“Skala penindasan transnasional Cina terhadap Uighur sangat menakjubkan. Dari rendisi individu hingga ancaman online sehari-hari. Tidak ada kedamaian bagi Uighur yang tinggal di luar negeri,” kata Omer Kanat, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP), seperti dikutip dari Radio Free Asia, Kamis (11/11/2021).
Laporan setebal 64 halaman – dirilis bersama oleh UHRP, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Washington, D.C., dan kelompok pertukaran akademik Oxus Society for Central Asian Affairs – didasarkan pada data survei dari etnis Uighur yang tinggal di seluruh dunia.
Laporan tersebut menambahkan, ada lebih dari 5.500 contoh peringatan dan ancaman terhadap individu dan anggota keluarga mereka di 22 negara. Dilaporkan pula munculnya pelecehan, dan intimidasi terhadap etnis Uighur.
Peter Irwin, pejabat program senior untuk advokasi dan komunikasi di UHRP, mengatakan, taktik yang digunakan oleh agen Cina termasuk serangan siber, pelecehan daring, dan kampanye kotor publik.
“Skala dan ruang lingkup peretas dan operasi intelijen yang didukung negara Cina telah berkembang di negara-negara yang menjadi tuan rumah bagi etnis Uighur sejak 2014,” kata Bradley Jardine, direktur penelitian di Oxus Society for Central Asian Affairs.
Pada bulan Mei tahun itu, pemerintah Cina meluncurkan kampanye “serangan keras” terhadap serangan “teroris” di wilayah barat Xinjiang, termasuk penggerebekan polisi terhadap rumah-rumah etnis Uighur, pembatasan praktik Islam, dan pembatasan budaya dan bahasa Uighur.
Sejak 2017, Cina telah menahan sebanyak 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan kamp penahanan yang diklaim Beijing sebagai pusat pelatihan kejuruan. Kamp-kamp tersebut adalah pusat dari kampanye penindasan yang juga mencakup pengendalian kelahiran dan kerja paksa serta telah menarik tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Barat.
“Jika demokrasi tidak bertindak untuk memastikan kebebasan sipil komunitas rentan di dalam perbatasan mereka, konstituen kebijakan Cina yang vital akan dipaksa untuk diam – memberanikan PKC [Partai Komunis Cina] untuk terus menantang hak asasi manusia mendasar yang berdampak pada kita semua,” Jardine mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Organisasi tersebut mensurvei 72 orang Uighur yang tinggal di Asia-Pasifik, Eropa, dan Amerika Utara, dengan 74 persen mengatakan mereka telah mengalami risiko digital, ancaman, atau pelecehan online.
Laporan tersebut merekomendasikan agar pemerintah menerima lebih banyak pengungsi Uighur dan memberikan sanksi kepada warga negara Cina yang bertanggung jawab atas tindakan represi transnasional. (hanoum/arrahmah.com)