JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menyatakan rasa herannya dengan sikap aparat kepolisian yang terkesan aneh dan enggan mengakui adanya penganiayaan yang dilakukan anggotanya di lapangan. Hal tersebut ia ungkapkan menanggapi pernyataan Kapolres Poso AKBP Eko Santoso yang masih menunggu kelengkapan saksi sebanyak 14 orang korban untuk memproses dugaan penganiayaan 14 anggota Brimob, seperti dimuat koran Republika, Jum’at (4/1/2013).
“Apa saksi 9 orang tidak cukup untuk memproses pelanggaran tersebut? Kenapa harus nunggu 5 saksi yang lain?” katanya kepada arrahmah.com, Jum’at (4/1/2013).
Harits juga mempertanyakan, apakah saksi korban yang masih dalam kondisi babak belur tidak cukup dijadikan bukti aduan tindak pidana penganiayaan? Diantaranya seorang guru SMPN I Kalora-Poso pak Syafrudin yang babak belur setelah keluar dari Polres.
“Aapa masih tidak cukup untuk dijadikan bukti aduan atas tindak pidana (penganiayaan) yang dilakukan oleh aparat Brimob?” ujarnya.
Lebih dari itu, menurut Harits, pola tindakan yang membabi buta seperti mengerahkan pasukan Brimob ditambah dengan Densus 88 dalam jumlah yang besar serta kemudian di lapangan main tangkap orang hanya karena sangkaan mereka ikut pengajian (ini yang dianggap bukti permulaan), tidak akan melahirkan solusi. Tapi justru akan melahirkan kebencian masyarakat dan dendam baru terhadap aparat. Dan aparat kepolisian harus serius mengedepankan humanisme untuk mereduksi kekerasan.
“Jika tidak, justru akan melahirkan siklus kekerasan yang tidak berujung,” jelasnya.
Sehingga, menurutnya dari peristiwa yang terjadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat berubah menjadi anarkis dan lain-lain karena guru yang mengajarkannya adalah aparat penegak hukum sendiri.
“Sekalipun punya kewenangan untuk penegakan hukum bukan berarti boleh arogan atas nama hukum dan menjungkirbalikkan hukum menurut selera aparat di lapangan,” tandas Harits. (bilal/arrahmah.com)