JAKARTA (Arrahmah.com) – Tiga polisi tewas akibat penyerangan kelompok separatis bersenjata di Mapolsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua pada senin (26/11/2012).
Selain membunuh ketiga polisi, para pelaku penyerangan yang diperkirakan sekitar 50 orang juga membakar kantor Polsek Pirime hingga rata dengan tanah serta meampas senjata kepolisian. Namun, mengapa tidak ada sepatah katapun muncul dari pihak aparat BNPT atau Polri (Densus 88) bahwa ini tindakan teroris.
Demikian diungkap Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada arrahmah.com, Kamis (29/11) Jakarta.
“Bahkan, media tidak ada yang kaitkan dengan istilah terorisme, seperti sudah aklamasi dan sudah MOU bahwa ‘teroris’ hanya cap untuk kelompok umat Islam,” tegasnya.
Kalau konsisten, lanjutnya, harusnya para penyerang di Papua yang melakukan aksi dengan motif politik ‘etno nasionalism/separatism’ juga digolongkan sebagai tindakan terorisme.
“Mereka ada organisasi, mereka ada visi politik, terorganisir, menciptakan teror untuk mempengaruhi iklim politik keamanan dan kedaulatan negara,” ujar Harits.
Menurut Harits, ini merupakan sikap munafik BNPT dan Densus 88 yang selama ini mengobarkan perang melawan terorisme, namun melakukan standar ganda dan diskriminasi dalam menyematkan apa yang mereka sebut sebagai kelompok teror. Jika dalam kasus Poso, Densus bersama kepolisian cepat bergerak, massif, dan begitu bernafsu, namun kejadian di Papua, Polisi justru bersikap sebaliknya.
“Kalau sudah begini, jangan salahkan jika ada yang menilai BNPT dan Densus 88 dilahirkan untuk perang terhadap kelompok Islam baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang ke depan,” lontarnya.
Harits pun berharap peristiwa tesebut dapat menyadarkan kaum Muslimin siapa musuh sesungguhnya yang harus dihadapi.
“Semoga membuka mata umat siapa kawan dan siapa lawan,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)