JAKARTA (Arrahmah.com) – Konflik Poso yang meletup sekitar 14 tahun lalu (sekitar 1998) berbeda dengan kasus sekarang. Dulu diawali dari perkelahian anak-anak mabok (Kristen) dan membacok seorang remaja masjid kemudian menjadi konflik yang eskalasinya meluas menjadi perang Muslim Vs Kristen.Disamping faktor kepentingan ekonomi dan politik regional juga berkontribusi menjadikan konflik makin komplikasi.
Demikian itu diungkapkan Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst), Harits Abu Ulya, kepada arrahmah.com, Minggu (17/2/2013) Jakarta.
“Sekarang beda, yang terjadi hanya “perang” antara beberapa kelompok orang Vs aparat keamanan (Polri),” Ungkapnya.
Tapi kasus sekarang, menurut Harits, juga masih ada benang merahnya dengan konflik masa lalu, serangan yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang tersebut merupakan dampak dari sisa kezaliman masa lalu.
“Jadi, serangan itu adalah wujud residu ketidakadilan dari penanganan konflik masa lalu yang tidak tuntas,” ujar Pemerhati Kontra Terorisme ini.
Lanjut Harits, ditambah akumulasi perlawanan dari kelompok tertentu yang selama ini jadi buron dengan tuduhan terorisme. Kemudian Poso di jadikan basis perlawanan terhadap apa yang menurut mereka adalah kedzaliman.
“Jadi, terlalu didramatisir kalau kasus sekarang dikatakan konflik. Kalau tindakan yang bisa memicu konflik benar adanya, baik dari tindakan apara kepolisian yang tidak proporsional dan overacting maupun teror yang dilakukan orang-orang tertentu terhadap aparat kepolisian,” paparnya.
Penanganan berlebihan
Ia pun heran dengan kebijakan “militeristik” yang selalu dikedepankan dalam menangani persoalan di Poso. Bahkan, menurutnya terlalu eksesif (berlebihan) serta mengabaikan kondisi psikologis masyarakat yang belum sembuh benar dari konflik masa lalu.
“Kehadiran personil Polri dan TNI dalam jumlah yang berlebihan hanya untuk mengejar sekelompok orang justru menjadi pemicu sikon sosial politik keamanan tidak kondusif,” kritik Harits.
Apalagi, lanjut Harits, hasil buruan nihil malah justru obrak-abrik kota Poso dan menangkap orang-orang yang tidak bersalah dengan interogasi yang keji kemudian dilepas begitu saja.
“Jelas ini menyulut kebencian masyarakat Poso,” tukasnya.
Kata Harits, keamanan dan kenyamanan masyarakat jadi terganggu. Ini indikasi operasi intelijen belum maksimal untuk memetakan ancaman di teritorial tertentu dan belum bisa membuat rekomendasi yang tepat dan proporsional.
“Malah yang terjadi show of force mengerahkan pasukan, terkesan kebijakan dibuat dengan emosional, paranoid dan tidak memahami realitas dilapangan,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)