JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai Densus 88 sangat mungkin salah tembak orang. Hal ini menurutnya, salah satu bentuk kegagalan operasi intelijen aparat plus kecerobohan tindakan aparat dilapangan.
“Seorang Bahtiar Abdullah hanyalah seorang penjual ayam dan krupuk dan dalam 6 tahun terakhir tidak pernah keluar pulau apalagi Poso,” ungkapnya kepada arrahmah.com, Senin (14/1) Jakarta.
Haris juga menduga kuat hasil investigasi Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR) yang dibentuk sejumlah elemen di Bima dalam rangka menyelidiki pelanggaran HAM pada kasus penembakan sejumlah orang oleh Densus 88 sudah tepat.
“Saya menduga hasil TPFR benar adanya. Karena, sinkron dengan data yang saya ketahui bahwa Bahtiar memang betul pernah ke Poso. Tapi, itu pada masa konflik untuk membantu umat Islam di Poso. Namun, paska perjanjian damai Malino, Bahtiar kembali ke Bima dan tidak pernah lagi ke Poso,”
Lebih lanjut Harits mengatakan, kegagalan identifikasi atas obyek atau target sasaran oleh aparat Densus bukan kali ini saja terjadi, dua orang lain yang tewas di Bima aparat juga belum tahu identitas mereka siapa.
“Artinya,aparat sendiri tidak tahu siapa yang ditembak. Apakah benar mereka “teroris” atau tidak, jadi ini sangat konyol. Bagaimana bisa seorang dieksekusi dengan alasan mereka terduga teroris padahal tidak tahu persis siapa mereka? Dan ini bukti Densus kurang profesional dan overacting,” tegasnya.
Tak hanya itu, masalah barang bukti yang dirilis aparat dan dipublish media massa serta elektronik, ia menduga juga hal tersebut direkayasa. Mengingat, tampak adanya inkonsistensi data.
Selain itu, ia meragukan cerita yang dimunculkan aparat tentang mereka yang diduga terlibat aksi kekerasan di Poso kemudian mereka turun gunung keluar meninggalkan Poso melalui Makassar dengan jalur laut/kapal dengan membawa bahan peledak atau Bom.
“Itu sangat naif dan bodoh sekali jika itu benar. Jadi analisa saya, Barang Bukti yang di Bima adalah buatan untuk melegitimasi perburuan orang-orang yang di cap sebagai teroris di Bima dan sekitarnya,”cetus Harits.
Sementara itu, ia menduga orang-orang yang lari ke Bima dari Poso tidaklah banyak. Dan aparat, menurutnya juga sedikit banyak sudah mengetahui. Ia menduga sudah ada orang yang ditanam oleh aparat.
“Karena sangat mungkin kelompok Poso ini ada penyusup dari aparat untuk memantau seluruh pergerakan mereka,” beber Harits.
Sudah meninggal masuk DPO
Satu contoh fakta lagi menurut Harits, terkait invalidnya data aparat yaitu ketika berbicara tentang rencana operasi Polri dengan sandi Maleo Aman 1 dengan mengerahkan personil 1.185 polisi dan 170 TNI berlokasi Poso yang mentargetkan DPO 24 orang. Dari daftar nama yang menjadi DPO ada yang sudah tewas tapi masih ada dalam daftar DPO, contoh seorang yang bernama Maskoro alias Daeng Koro alias Abdul Salam alias sabar.
“Nah, kita bisa melihat apa dampak kesalahan-kesalahan identifikasi dan penetapan DPO. Sangat besar berpeluang adanya pelanggaran demi pelanggaran hukum pada saat operasi aparat dilapangan,” imbunya.
Harits pun menilai saat ini sudah saatnya Densus 88 dan BNPT untuk diaudit pendanaannya dan dimintai pertanggungjawaban. Lebih-lebih jika operasi tersebut menggunakan APBN alias uang rakyat. Mengingat tingkat pelanggaran yang dilakukan dalam setiap operasinya.
“Apa karena dananya banyak hibah dari negara Amerika cs lantas hanya bisa bertanggungjawab kepada Amerika, dengan cara makin intensifnya operasi dilapangan untuk perang melawan “teroris” versi doktrin negara donatur Amerika Cs,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)