JAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia menjual isu terorisme di forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Hal ini terlihat dalam agenda “Counter Terrorism Task Force (CTTF)”. Kegiatan ini berbentuk Senior Officers Meeting (SOM) II yang dihadiri pejabat setingkat Direktorat Jenderal dari 21 negara peserta APEC, Minggu (07/04).
“Terlihat sekali Indonesia ingin menjual isu kontraterorisme, dengan menempatkan isu ini menjadi topik awal pembicaraan di APEC,” Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada itoday, Senin (08/04).
Menurut Harits, Indonesia ingin mendapat simpati dan keuntungan ekonomi lebih besar dengan asumsi telah mampu memastikan keamanan kawasan dari ancaman terorisme aktual maupun potensial.
“Investasi diharapkan mengalir deras dengan alasan hampir mampu menjamin 4 sektor utama yaitu perdagangan, travel, finansial dan infrastruktur dari ancaman terorisme. Dan berlebihan menganggap berhasil melakukan penegakkan hukum dengan meninggalkan pendekatkan militeristik,” ujar Harits.
Kata Harits, sejatinya ada kerancuan logika dan kontradiksi dengan fakta di lapanganPeristiwa Bom Bali memang betul dampaknya di sektor pariwisata dan ekonomi di Bali terpukul.
“Tapi di periode berikutnya tidak relevan jika aksi-aksi yang di sebut dan diklaim oleh BNPT ataupun Densus 88 sebagai tindakan “terorisme” betul-betul mengganggu sektor perdagangan, travel, finansial dan infrastruktur. “Terorisme” hari ini dan yang ditangani oleh pemerintah lebih sebagai label dari produk Politik kepentingan. Dan kelompok umat Islam yang dijadikan korban,” papar Harits.
Harits menegaskan, dunia mungkin bisa dibohongi, tapi tidak untuk umat Islam di negeri tercinta ini. Fakta penindakan hukum. Berapa banyak orang ditangkap hanya karena diduga teroris? Kemudian diadili dan dihukum.
“Berapa banyak orang mati dieksekusi oleh Densus88 hanya karena diduga teroris? Hari ini 700 orang lebih dalam kurungan menjadi korban hanya karena diduga dan terkait terorisme,” ungkap Harits.
Haris mencatat sudah 90 orang tewas di luar proses peradilan. Inikah yang dikatakan sukses dan bagus? Atau inikah yang dimaksud tidak militeristik? Ini sebuah cerita keberhasilan yang antagonis dengan fakta yang sesungguhnya terjadi.
“Jadi “terorisme” menjadi barang dagangan untuk kepentingan-kepentingan BNPT, Densus 88 untuk menggali banyak dana hibah dari luar negeri.Dan dijadikan barang dagangan untuk kepentingan investasi para kapitalis yang rakus dan dimediasi oleh pemerintah RI. Umat Islam yang jadi korban dengan isu teroris jadi tumbal kepentingan kapitalis,” pungkas Harits.
(saif/itoday/arrahmah.com)