JAKARTA (Arrahmah.com) – Tuduhan yang dilayangkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan pihak kepolisian bahwa pelaku pembunuhan dua orang polisi dilakukan oleh Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT), dinilai tergesa-gesa dan tidak layak diungkapkan oleh institusi negara.
Hal ini diungkapkan Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Haris Abu Ulya dalam siaran persnya yang diterima arrahmah.com, Jakarta, kemaren Jum’at (17/10).
“Harusnya pejabat publik hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan dan berpikir matang akan dampak-dampak politiknya,” katanya yang memcontohkan ada tiga orang yang jadi pejabat dan seharusnya tidak boleh umbar omongan banyak ke publik diantaranya Kepala BIN, Ketua MK, dan Ketiga kepala PPATK.
Anehnya, lanjut Haris, Kepala BIN Marciano berbicara soal pembunuhan polisi di Poso dengan menuding bahwa yang melakukan adalah JAT hanya atas dasar dugaan.
“Aneh sekali kenapa baru diduga kok udah diobral oleh kepala BIN? Kalau salah dugaan, bagaimana kredibilitas intelijen yang ada?,” tukasnya.
Ia menilai kurang tepat kalau Intelijen banyak bicara ke media, karena dalam intelijen harus memenuhi UUK (unsur utama keterangan) yang harus zero kesalahan. Jika salah mengungkap UUK maka pejabat intelijen secara moral intelijen sudah cacat.
“Jadi hemat saya, bekerja yang profesional, tidak perlu umbar opini karena justru pola seperti itu secara hukum jadi bermasalah,” ujar Haris
Tambahnya, bermaslaha karena menimbulkan prasangka dan mencemarkan nama baik entitas atau kelompok tertentu.
“Itu menjadi prejudice dan mencemarkan nama baik, semua buktikan saja di pengadilan sekalipun nanti misalkan ada upaya rekayasa untuk membuat keterkaitan,” tutur Haris.
Haris juga melihat ada kejanggalan pada institusi BIN dan Polri yang terkesan sibuk membuat opini.
“Apa ini penggiringan untuk memojokkan kelompok tertentu? Kemudian masalah situs yang berisi tantangan kepada densus, itu bisa siapa saja buat dan bahkan kerjaan intelijen juga mungkin untuk kepentingan tertentu,” Imbuhnya.
Ia pun mempertanyakan, mengapa aparat keamanan tidak membereskan tempat yang dianggap sebagai tempat latihan para militer kelompok tertentu, jika merasa mencurigainya sejak lama, bahkan aparat yang turun cuma reskrim dan intel.
“Kenapa tidak seperti kasus Aceh, kenapa bukan densus yang turun?,” lontarnya.
Terkait pembunuhan kepolisian, ia meminta pihak keamanan jangan berlebihan dan mendramatisir seolah-olah merupakan kejadian luar biasa.
“Pembunuhan kepada siapapun mau polisi/aparat atau rakyat, jika diluar haknya adalah tindakan kriminal. Jadi jangan lebay karena polisi yg mati kmudian didramatisir, harga nyawa bagi setiap orang sama. Dan kita tidak sepakat menghilangkan nyawa orang diluar haknya,” pungkas Haris. (bilal/arrahmah.com)