JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Harits Abu Ulya mengungkap data yang menyedihkan, terkait kebrutalan CIA pada kurun waktu 2002-2007 dalam memperlakukan terduga dan tersangka kasus terorisme versi Amerika Serikat (AS) dalam bentuk rendisi (pengiriman tahanan tanpa proses hukum secara rahasia) dan penahanan serta interogasi.
Berdasarkan catatan (laporan)organisasi HAM- Open Society Justice (OSJI) ada 9 negara yang dipakai untuk program brutal dri CIA dan 54 negara lainya membantu penangkapan dan Rendisi dengan modus deportasi.
“Nah dari 54 negara tersebut ternyata Indonesia terlibat proyek biadab tersebut,” ungkap Harits.
Kata dia, tercatat Indonesia melalui BIN (Badan Intelijen Nasional) menangkap Pertama, Muhammad Saad Iqbal Madni (9 Januari 2002) direndisi ke Mesir, saat ke Indonesia dia sering mengunjungi alumni Afghanistan yang tinggal di sekitar Taman Amir Hamzah,Menteng Dalam. Kedua, Salah Nasir Salim Ali Qoru (2003) direndisi ke Yordania.
Harits juga menyebut, di luar nama 2 orang tersebut juga tercatat BIN menangkap Umar Faruq, Februari 2002 dengan paspor atas nama Mahmud Bin Ahmad Assegaf dikirim ke Guantanamo berangkat dari Lapangan Pondok Cabe, Tangerang Selatan atas permintaan CIA.
“Saat itu Hendropriyono sebagai Kepala BIN dan menantunya Andika P (saat ini menjadi DanPaspampres Jokowi) operator lapangan,” terangnya.
Masih mengungkap data, kata dia, ada juga nama Syam Reda juga di deportasi dari Indonesia. Seorang yang bernama Muhammad Fraq Ahmed Basmeila alias Muhammad al Somaila (2002) juga ditangkap, bersama dia ditangkap juga Waddah Nasser Salem Ali Bin Tamimi alias Abu Hamzah alias Muksin,keduanya dideportasi. Satu lagu Abdel Ilah Sabri warga Libya kemudian dideportasi ke Afsel.
Beberapa data ini, imbuh Harits terkonfirmasi dari data intelijen yang dibukukan oleh As’ad Said Ali dalam judul “Al Qaeda-Tinjauan Sosial Politik Ideologi dan Sepak Terjangnya” (2014).
“Kebetulan posisi As’ad Ali Said juga menjadi Wakil Kepala BIN di masa Hendropriyono menjadi Kepala BIN,” jelasnya.
Dia menuntut, kalau saat ini pemerintah diminta untuk serius memperhatikan kasus pelanggaran serius HAM dimasa lalu, maka jangan lupa bahwa proyek Kontra Terorisme yang digelar di Indonesia.
“Yakni kurang lebih juga sama menyimpan kabut persoalan yang sangat serius yakni cara-cara brutal dan biadab yang dilakukan oleh Densus88 dalam menangani orang-orang yang diduga dan tersangka teroris,” tukasnya.
Menurutnya perang melawan terorisme menjadi topeng perang untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap mengancam kepentingan Barat dan negara-negara satelitnya.
Dunia harus sadar, tindakan-tindakan biadab yang sistemik dilakukan oleh negara atau oknum dan institusi seperti CIA atau kalau di Indonesia Densus88 dan Satgas Penindakan BNPT adalah berkontribusi menjadi akar suburnya kekerasan dan “terorisme” menggeliat tak berujung.
“Jangan sampai rakyat Indonesia mengecam keras kebrutalan CIA tapi lupa di negerinya sendiri sudah banyak yang jadi korban kebrutalan Densus88 dan Satgas BNPT ala koboi CIA yang digelar atas nama perang melawan terorisme dengan menggunakan dana hibah dari Amerika,Cs dan uang rakyat (APBN),” tutupnya. (azm/arrahmah.com)