WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sejumlah dokumen yang baru ditemukan membongkar hubungan intim antara CIA dan lembaga intelijen miliki diktator Libya, Muammar Gaddafi.
Berkas yang ditemukan di kantor mantan kepala intelijen Libya oleh para jurnalis dan Human Right Watch pada hari Jumat ini memperlihatkan bahwa Amerika telah mengirim sejumlah orang yang ditimpa tuduhan teroris ke Libya setidaknya delapan kali untuk diinterogasi, meskipun AS tahu betul Libya adalah negara yang gemar melakukan penyiksaan, New York Times melaporkan.
Pada bulan Agustus 2009, Presiden AS Barack Obama menyatakan bahwa Washington akan melanjutkan pengiriman tersangka teror ke negara itu untuk penahanan dan interogasi, meski mengklaim tetap akan melakukan upaya monitoring agar tidak terjadi “pelanggaran terhadap HAM”.
Kerjasama antara Libya dengan CIA dan lembaga intelijen Inggris MI6 ternyata lebih besar, namun tidak banyak pihak yang mengetahuinya.
Dalam kasus yang lain, dokumen itu menunjukkan pesan mengenai penolakan senjata berteknologi tinggi (baca: dukungan Libya atas perang AS di Irak, Red.) yang ditulis oleh otoritas Amerika untuk Gaddafi.
Naskah pidato satu halaman yang ditulis sebelum libur Natal 2003 itu ditujukan untuk memuji penguasa Libya.
“Pada saat dunia merayakan kelahiran Yesus, dan sebagai tanda kontribusi kita terhadap dunia yang penuh perdamaian, stabilitas keamanan, dan kasih sayang, Jamhariya Agung (baca: rezim Gaddafi, Red.) memberikan seruan yang sangat jujur agar Timur Tengah menjadi zona bebas WMD,” kata Gaddafi merujuk pada senjata pemusnah massal (yang saat itu diarahkan pada rezim Saddam Hussein dan menjadi dalih untuk membenarkan perang pimpinan AS di Irak).
Juru bicara CIA, Jennifer Youngblood, menyatakan bahwa hubungan antara lembaga AS dengan Libya adalah hubungan yang cukup lumrah.
“Tidak perlu dibesar-besarkan adanya kerja sama CIA dengan pemerintah asing untuk membantu melindungi negara dari terorisme dan ancaman mematikan lainnya,” katanya.
Namun, kantor Kementrian Luar Negeri Inggris, menolak untuk mengomentari dokumen itu dan berkata, “Ini adalah kebijakan pemerintah untuk tidak mengomentari masalah-masalah intelijen.” (althaf/arrahmah.com)