JAKARTA (Arrahmah.com) – Praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution mengingatkan pemerintah untuk tidak meremehkan persoalan rekaman dan transkrip yang diduga berisi percakapan mengenai rekayasa dalam kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Adnan yang dihubungi Minggu (1/11), di Makassar, mengatakan, Indonesia pernah punya pengalaman buruk terkait sebuah dokumen, yang justru berdampak besar memecah belah bangsa ini. Hal seperti itu pernah terjadi di masa pemerintahan mantan Presiden Soekarno.
Saat itu muncul Dokumen Gilchrist. Dalam tulisan wartawan senior, Rosihan Anwar adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing. Selasa, 30 Sep 1997, berjudul G-30-S/PKI, Gilchrist, dan CIA , dokumen itu disebutkan berbentuk surat yang ditulis oleh Duta Besar Inggris di Jakarta pada saat itu, Sir Andrew Gilchrist.
Isinya percakapan antara Gilchrist dengan Duta Besar Amerika Serikat, terkait rencana kedua negara adidaya itu untuk menggulingkan pemerintah Indonesia, yang dilakukan dengan cara berkolusi dengan tentara Indonesia yang menjadi teman mereka. Surat Gilchrist ditemukan di kediaman Bill Palmer, seorang wakil American Motion Picture Association in Indonesia (AMPAI), yang mengelola pemasaran semua film Hollywood di Indonesia dan bahkan memasoknya ke Istana Presiden secara teratur saat itu.
Palmer sendiri disebut-sebut sebagai agen intelijen Amerika Serikat, CIA. Dalam sejarahnya, dokumen itu lah yang disebut-sebut mendasari Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI), yang membunuh tujuh orang jenderal Angkatan Darat, karena diyakini akan membantu menggulingkan Presiden Soekarno.
“Jangan sampai lagi bangsa kita ini tercerai berai, hanya karena dokumen yang tidak jelas kebenarannya seperti dalam peristiwa Dokumen Gilchrist itu. Sekarang, segera lah MK membuka dokumen berisi transkrip dan rekaman misterius tersebut, dengan juga memastikan suara orang-orang yang terekam di dalamnya benar asli,” ujar Adnan.
Untuk itu, ia meminta MK juga melibatkan para pakar khusus yang dapat menganalisa rekaman suara tadi dan mencocokkannya dengan suara orang-orang yang disebut terlibat dalam upaya rekayasa menjerumuskan Bibit dan Chandra tersebut.
Praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak menyerahkan dokumen berupa rekaman dan transkrip, yang disebut-sebut berisi konspirasi dan rekayasa terhadap kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ke pihak kepolisian untuk diselidiki.
Adnan, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu mengaku khawatir terhadap konflik kepentingan yang mungkin terjadi jika dokumen transkrip dan rekaman itu sampai jatuh ke tangan kepolisian.
Hal itu disampaikannya, saat dihubungi per telepon di Makassar. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi perkembangan yang terjadi pascapenahanan Bibit dan Chandra oleh Polri, yang menuai banyak reaksi keras dan kecaman dari masyarakat.
Adnan lebih lanjut menyarankan perlunya dibentuk tim penyidik atau penuntut independen. “Caranya, kita bisa dengan mencoba untuk mencari peluang aturan hukum, yang memungkinkan pembentukan tim independen tadi atau dengan melalui mekanisme hak angket DPR di mana legislatif menunjuk satu komisi untuk menangani persoalan ini, yang akan bertanggung jawab hanya ke DPR,” ujar Adnan. (sm/arrahmah.com)