(Arrahmah.com) – Pada era sekarang ini banyak sekali manusia-manusia yang berambisi menjadi seorang “pemimpin”. Jika kita lihat seorang anak TK saja sudah ada yang memiliki cita-cita sebagai pemimpin atau bahasa bagusnya sekarang yaitu presiden. Menjadi seorang presiden merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan, karena jika di lihat dengan pemikiran yang lurus bahwa presiden itu suatu kepala Negara yang bertugas membuat suatu perubahan untuk menjadikan suatu kesejahteraan untuk rakyat. Tetapi saat ini banyak sekali orang yang salah mempersepikan sehingga banyak sekali perebutan-perebutan benda(kekuasaan) sehingga tidak mengenal kawan atau lawan.
Pemimpin saat ini diusung berdasarkan ideologi apa yang dianut oleh seorang pemimpin. Sehingga slogan pemimpin hanya untuk seseorang yang memiliki kekayaan atau menjadi frame dari seseorang yang memegang kekayaan itu. Kita lihat Negara Indonesia sudah merdeka 72 tahun, tetapi rakyat miskin masih terlihat dan kapitalisme masih melihat taringnya di negri ini.
Figur seorang pemimpin di negeri ini masih belum terlihat karakternya. Karakter merupakan suatu ciri khas kebaikan yang ada dalam setiap diri seseorang. Tetapi kita lihat sekarang, karakterisitk merakyat hanya sebagai frame untuk sebagai senjata untuk sebuah kekuasaan. Tapi di belakang itu kebijakan-kebijakan tidak pro terhadap rakyat kecil. Janji hanya sebuah perkataan tanpa pemaknaan dan perealisasian di dalamnya.
Kita lihat sekarang para wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin kita yang menduduki kursi parlemen sangatlah bergelimang dengan harta. Semuanya berawal dari ajang kampanye yang mengumbar suatu janji untuk membangun kesejahteraan tapi malah kesejahteraan subyektif lah yang dibangun.
Kita masih teringat sekali sebuah perkataan dari seorang pahlawan kita yaitu H.Agus Salim, dia berkata “ Seorang yang memimpin itu adalah menderita” artinya seorang yang menjadi pemimpin itu bukan-lah orang yang menjadikan kepemimpinan itu sebagai alat untuk penambah kekayaan tetapi sebagai alat penderitaan. Baik fisik,harta maupun akal pun untuk memikirkan mensejahterakan kehidupan bangsa ini.
Jika kita berbicara tentang kepemimpinan, mari kita lihat kepemimpinan pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Teringat suatu cerita dari salah satu sahabat Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam.yang bernama Salman Al-Farisi. Beliau merupakan seorang Gubernur dari Negri Syam pada masa Khalifah Umar ibn Khattab. Salman Al Farisi merupakan seorang pencari kebenaran sejati namun ketika diberikan amanah oleh khalifah, sungguh sangat menakjubkan atas kesederhanaan dan segala ketawadhuan-nya dalam memimpin.
Salman Al-Farisi merupakan orang yang sangat cerdas, bagaimana tidak? Pada saat terjadi peperangan yang terkenal dengan perang khandaq. Saat itu kondisi umat islam sangat terpojok oleh musuh. Keletihan dan kelaparan senantiasa menjadi masalah pada saat itu, terjadi kongsi antara kaum Quraisy dan Ghathafan untuk menyerang umat islam pada saat itu. Lalu muncul lah Salman untuk meberikan solusi agar dapat mencegah musuh untuk memasuki kawasan kaum muslimin. Salman meberikan pendapatnya agar dibuatkan parit untuk mencegah musuh, dan Rasulullah menerima pendapt itu. Begitu cerdas nya Salman di usia nya yang terbilang muda memiliki ide cemerlang dan Rasulullah percaya kepadanya untuk melakukan hal itu.
Pada masa kepemimpinan Salman Al-Farisi, negri Syam sangat lah maju dan rakyat nya sejahtera. Tetapi di dalam kesejahteraan negri Syam terdapat pemimpin yang sangat sederhana, hal itu terlihat ketika dia sedang berpidato di hadapan 30.000 orang dia hanya berpakaian mantel setengah dan setengahnya lagi untuk alas dia duduk. Selain itu tunjangan Salman ketika menjabat yaitu 5.000 dirham dalam setahun tetapi dia lebih memilih untuk menafkahi keluarganya dengan usaha dagangnya. Tunjangan yang di terima seluruhnya dia bagi-bagikan hingga habis. Pendapatan yang dia hasilkan untuk menghidupi keluarganya yaitu dengan hasil dagangnya dengan “Membeli anyaman satu dirham,lalu dianyam dan dijual seharga tiga dirham. Satu dirham untuk modal,satu dirham untuk nafkah keluarga, dan satu dirham lagi untuk disedekahkan lagi”.
Sungguh sangat menakjubkan dan teladan sebagai seorang pemimpin di tengah sejahtera nya rakyat, tetapi pemimpinnya begitu sederhana karena rasa takut nya akan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika nanti diminta pertanggung jawaban di hari kiamat nanti.
Jika kita lihat dan kita cerminkan pada zaman sekarang, sungguh sangat terbalik 360 derajat. Saat ini kedudukan dan kekuasaan dijadikan sebagai kursi perebutan kekayaan, bukan sebagai untuk mensejahterakan. Saat ini politik dikenal begitu kejam, karena peserta nya menghalalkan segala cara hanya untuk sebuah kekuasaan. Dan saya teringat ketika Khalifah Umar ibn Khattab memikul beras sendiri karena melihat dari salah satu warganya yang sedang kelaparan. Hal itu disebabkan karena suatu keimanan yang menyadari bahwa kekuasaan itu bukan untuk senang-senang apalagi sebagai perebutan. Tetapi sebagai penderitaan yang diamanahkan kepada seseorang untuk mensejahterakan negrinya yang dridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Kekuasaan itu merupakan sebuah proses seleksi alam. Bukan sebuah alat perebutan. Seorang pemimpin terhormat ialah ketika dia diamanahkan karena kejujuran, prestasi dan keimanan. Karena keimanan akan membawa negri yang dipimpin kedalam kesejahteraan yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala”
Muhammad Auliya Alfien, Mahasiswa STEi SEBI
(*/arrahmah.com)