(Arrahmah.com) – Masih sama. Tidak ada yang berubah dari Indonesia meski pemimpin sudah berganti sekian kali. Rangkaian episode kebijakan yang mereka tayangkan, semakin menyempurnakan skenario masing masing rezim dalam mempertahankan kekuasaan.
Rakyat hanya bisa mengamati, kemudian dipaksa menjadi pemeran protagonis yang terus digenjot dengan penderitaan. Jerit pilu tak lagi diindahkan, bahkan pintu aspirasi rakyat ditutup rapat di negeri yang katanya mengagungkan demokrasi. Ketika ulama dikriminalisasi, ormas Islam yang kerap menyuarakan kritik demi perbaikan pun diberengus. Beragam tudingan buruk diopinikan agar alasan pembubaran masuk akal meski terkesan dipaksakan.
HTI, adalah salah satu korban kebringasan sistem yang beberapa waktu lalu gencar diberitakan media karena rencana pembubarannya oleh Bapak Wiranto. Anti pancasila dan tidak memberi kontribusi positif bagi pembangunan adalah dua point yang mereka jadikan pegangan dan terus menerus mereka dengungkan demi meraih keseragaman opini publik.
Point pertama – anti pancasila, adalah tudingan ngawur yang tentu saja mudah dibantah karena memang faktanya gerak ormas tersebut didasarkan pada ide dasar islam. Dan ini jelas tidak menyalahi sila pertama falsafah negeri. Pelanggaran hukum seperti tindakan anarkis pun tidak pernah terjadi karena ormas tersebut selalu mengedepankan kata ‘damai’ dalam setiap aksinya.
Adapun terkait kontribusi dalam hal pembangunan, maka definisi pembangunan sendiri tidak bisa dikerdilkaan sebatas pada perkara fisik. Karena sebenarnya, eksistensi suatu bangsa tidak akan bertahan lama jika dalam dirinya belum terdapat RUH yang sempurna. Dan ruh yang dimaksud disini adalah sistem yang ke-akurat-annya akan menentukan kesejahteraan rakyat. Sistem yang labil, penuh revisi dan tembelan, tentu akan menimbulkan gejolak yang fluktuatif di masyarakat. Terutama kelompok kelompok yang memiliki kesensitifan atau kepekaan tinggi terhadap sebab-akibat lahirnya kebijakan pemerintah.
Bertolak pada sistem yang sekarang diemban, maka bisa dirasakan secara langsung dampak penerapan kebijakan oleh pemerintah. Sumber daya alam yang melimpah ruah tidak lagi dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat akibat ke-liberal-an UU.
Belum lagi masalah pemenuhan hajat hidup publik yang masih jauh dari kata memuaskan. Bagaimana mau dibilang memuaskan kalau jaminan kesehatan berkualitas yang merupakan kebutuhan dasar saja gagal diwujudkan? Rakyat sudah membayar, namun pelayanan tetap memprihatinkan.
Problematika umat yang beragam inilah yang sebenarnya menjadi perhatian HTI dalam menunjukkan peran dan kepeduliannya dengan menawarkan solusi konstruktif. Solusi yang bukan solusi tambal sulam. Namun solusi global yang terwujud dalam bentuk syariah. Dalam artian, seluruh tata kelola negara harus didasarkan pada pijakan Islam. Baik di bidang pendidikan, politik, dan ekonomi termasuk di dalamnya kepemilikan. Ini menjadikan SDA dan badan usaha milik negara mustahil mengalami pemindahan kekuasaan oleh swasta maupun asing. Hasil bumi 100% akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Rakyat tidak akan mungkin lagi dibebani oleh perkara pajak, iuran untuk jaminan kesehatan maupun pendidikan.
Tidak berhenti pada pembangunan ruh (sistem), HTI juga tidak pernah luput dalam upaya perbaikan SDM dari berbagai latar belakang. Pembinaan pola pikir dan pola sikap terus dilakukan demi mencapai kebangkitan yang hakiki. Menyadarkan umat bahwa kodratnya yang hanya sebagai hamba, menjadikan mereka mau tidak mau harus tunduk pada aturan sang Pencipta.
Jika pembangunan yang semacam ini dipermasalahkan dan dianggap mengancam, maka bukankah wajar rakyat mulai mempertanyakan standard apa yang digunakan pemerintah dalam men-judge pergerakan suatu organisasi masyarakat?
Maya A, Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)