(Arrahmah.com) – Perempuan paruh baya itu tampak sibuk, antara mempersiapkan diri menyambut bulan suci juga berburu pencaharian baru. Baginya, sebagaimana Muslim lainnya yang tinggal di Denmark, memulai Ramadhan juga berarti mulai mencari pekerjaan baru untuk benar-benar bisa melewati hari yang panjang sembari menjalankan puasa lebih dari 17 jam.
“Anda benar-benar tidak punya banyak waktu untuk melakukan semua yang perlu anda lakukan,” tutur Sofie Clausager Dar (34).
“Anda harus makan dua kali, shalat maghrib dan isya, dan harus shalat Tarawih. Waktu berjalan sangat cepat,” lanjut sang muallaf yang harus menyulap pekerjaan penuh waktunya sebagai ibu sambil tidak melewatkan keutamaan bulan Ramadhan, tugas yang sangat berat di Skandinavia saat ini.
Umat Muslim yang mengamati Ramadhan di Denmark dan negara-negara lain seperti Norwegia dan Islandia akan berpuasa jauh lebih lama daripada mereka yang berada di selatan, yang memiliki siang yang lebih pendek. Ada beberapa tempat di mana matahari tidak terbenam sama sekali pada waktu-waktu tertentu dalam setahun – seperti Svalbard, sebuah kepulauan Norwegia di Samudra Arktik yang bermandikan cahaya 24 jam dari bulan April hingga Agustus, atau kota Tromsø di daratan ke selatan.
Muslim yang memilih untuk berpuasa di tempat-tempat yang menyaksikan “matahari tengah malam” memiliki tiga pilihan, menurut Asim Mohammed (31), seorang ulama dan imam di sebuah masjid di Oslo, Norwegia. Mereka dapat berpuasa sesuai di kota terdekat yang tidak memiliki cahaya siang terus-menerus, mengikuti Mekah, atau sesuai dengan waktu di daerah mereka sendiri ketika matahari terakhir benar-benar terbenam.
Mohammed mengatakan bahwa beberapa jama’ahnya akan mengambil liburan selama bulan Ramadhan untuk mengatasi puasa yang panjang.
“Itu juga tergantung pada jenis pekerjaan yang anda lakukan – jika anda seorang pekerja kantoran, anda tidak memiliki masalah karena anda duduk di dalam ruangan ber-AC. Tetapi jika anda bekerja di luar, dalam cuaca panas selama bulan Mei, Juni, dan Juli, ini bisa agak sulit. Sebagian besar jama’ah saya – baik muda maupun tua – menjalankan ibadah puasa, dan sangat menarik menyaksikan cara mereka mengatasi kesulitan tersebut,” paparnya.
Gejala dehidrasi dan kelelahan adalah beberapa konsekuensi dari puasa yang mungkin dialami umat Islam.
Dar menuturkan bahwa “kekurangan cairan, dan merasa sedikit dehidrasi” adalah yang paling sulit ia perjuangkan.
“Kadang-kadang anda terlalu lelah di malam hari, anda mengalami hari yang panjang, anda tidak tidur terlalu lama, dan akhirnya tertidur setelah makan. Keesokan harinya bisa menjadi sangat sulit karena anda belum cukup minum,” katanya.
“Kurang tidur bisa sangat sulit. Putri saya ada di sekolah sekarang. Kelasnya dimulai jam 8 pagi setiap hari, jadi memastikan itu terjadi sangat sulit.”
Namun, puasa menjadi lebih mudah seiring berjalannya waktu, lanjut Dar.
“Pada awalnya itu lebih sulit, tetapi kemudian tubuh anda terbiasa dan itu bukan lagi perjuangan,” tambahnya.
Dar menyoroti pentingnya makan sahur. “Kalau tidak, anda hanya akan memiliki satu kali makan dan satu kesempatan untuk memasok cairan ke dalam tubuh yang memastikan bahwa Anda tidak mengalami dehidrasi,” katanya. “Bangun sebelum fajar adalah sesuatu yang selalu saya lakukan. Terkadang saya tidak tidur, dan memindahkan tidur malam di siang hari.”
Ketika ditanya apakah dia memiliki strategi untuk jadwal Ramadhannya yang sibuk tahun ini, Dar berkata: “Lalui saja. Tidak ada gunanya khawatir tentang hal itu dan berpikir Ramadhan akan sangat sulit. ”
Tentu saja, sementara Muslim di Eropa utara menghadapi puasa yang panjang selama akhir musim semi dan musim panas, yang terjadi adalah sebaliknya selama bulan-bulan musim dingin.
“Di Norwegia, ada perbedaan besar antara siang hari di musim panas dan musim dingin. Selama bulan-bulan musim dingin seperti Desember, matahari terbenam bisa terjadi pada pukul 15.15 sore. Tentu saja, semua orang lebih suka Ramadhan di musim dingin,” kata Imam Mohammed.
Selama Idul Fitri, menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak-anak dapat menjadi tantangan di negara-negara di mana umat Islam hanya membentuk minoritas dari populasi.
“Mereka bisa melakukan lebih banyak tradisi dan kegiatan, itu akan positif bagi mereka,” Dar menyayangkan. “Kami tinggal di negara di mana Natal adalah perayaan besar, tapi alangkah baiknya jika mereka bisa memiliki yang setara dengan itu sebagai Muslim.”
“Selama dua tahun terakhir, beberapa organisasi Muslim dan masjid sudah mulai melakukan Idul Fitri bersama. Mereka akan menyewa aula tempat mereka menunaikan sholat Ied. Setelah itu, orang bisa membeli makanan dan ada kegiatan untuk anak-anak dan orang tua,” kata Imam Mohammed. (Althaf/arrahmah.com)