JAKARTA (Arrahmah.com) – Akhir-akhir ini mencuat panas soal PKI. Terlebih adanya pembubaran terhadap seminar PKI yang bertajuk “Pelurusan Sejarah 1965/1966” di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Pembahasan semakin panas setelah Indonesia Lawyers Club tvOne mengangkat tema “PKI, Hantu atau Nyata?”. Salah satu yang hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Bejo Untung yang sangat membela PKI, dan menyebut bahwa PKI tidak bersalah dan tidak ada pembataian terhadap jenderal. Bejo untung sendiri mengakui adalah anggota IPI, yang merupakan underbow PKI.
Saksi mata tragedi kelam kekejaman PKI, masih banyak yang hidup. Diantaranya adalah Amelia Ahmad Yani, putri pahlawan revolusi Jenderal TNI Ahmad Yani.
Amelia Ahmad Yani mengenang detik-detik kematian ayahnya, sebagaimana yang diceritakan kepada Kumparan. Amelia masih mengingat rasa takut, sedih, dan kepanikan yang menderanya pada Jumat 1 Oktober 1965 dini hari.
Puluhan pasukan tiba di rumah Amelia sekitar pukul 04.00 WIB. Amelia mengingat pasukan itu sebagai sepasukan Cakrabirawa beserta Pemuda Rakyat, serta underbow PKI. Mereka bertolak dari ‘markas’ yang berlokasi di Lubang Buaya.
Tanpa ampun, pasukan itu langsung menyerbu masuk ke kediaman Ahmad Yani yang terletak di Jalan Lembang No. 67, Menteng, Jakarta Pusat.
“Mereka bergerak dari Lubang Buaya pada 30 September tengah malam dan sampai di rumah 7 prajurit antara pukul 04.00 dan 04.30 WIB, tanggal 1 Oktober 1965, Jumat legi,” tutur Amelia.
Tanpa takut, Yani langsung melakukan perlawanan. Tanpa ragu pasukan tersebut langsung menembak ke arah Ahmad Yani.
“Ayah kami Achmad Yani yang melakukan perlawanan, langsung ditembak dan kemudian diculik. Masih dalam piyama abu-abu di depan mata kami semua,” kata Amelia lagi.
Sebelum ditembak, Ahmad Yani, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat, menyempatkan diri untuk mengepalkan tangan kanannya dan meninju salah satu pasukan Cakrabirawa yang membentaknya.
“Ayah kami meninju salah satu Cakrabirawa yang berani membentak beliau dan tinju langsung mendarat di kepala seorang Cakrabirawa yang langsung roboh,” ucapnya lagi.
“Ayah berbalik dan menutup pintu kaca. Dalam jarak 1,5 meter, tembakan beruntun tepat mengenai ayah kami,” kenangnya.
Peristiwa itu masih membekas di ingatan Amelia. Bagaimana suara tembakan beruntun yang lebih mirip suara halilintar itu memecah keheningan subuh. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan putri ketiga Ahmad Yani ini saat itu. Takut, marah, sedih.
“Beliau jatuh berlumur darah. Kami menangis dan menjerit-jerit sejadinya melihat ayah kami diseret-seret. Mereka menarik kedua kaki ayah kami dan berlari menyeretnya,” ungkapnya.
Adegan para pasukan Cakrabirawa menyeret tubuh sang Panglima Angkatan Darat menambah histeris suasana pagi itu.
Amelia yang saat ini menjabat sebagai Dubes Bosnia ini masih ingat bagaimana ia masih berusaha mengejar sang ayah yang sudah diangkut masuk ke dalam sebuah truk.
“Kami sambil menangis menjerit mengikuti ayah kami di belakang prajurit Cakrabirawa yang,” tuturnya.
Namun, Amelia bersama tujuh saudaranya yang lain tak bisa mengejar hingga jauh. Langkahnya mereka dihentikan oleh pasukan Cakrabirawa serta ratusan pasukan yang memakai baju hijau tanpa sepatu sambil membawa senjata.
“Kalau tidak masuk akan ditembak semua,” kenang Amelia atas ucapan pasukan yang sudah mengepung rumahnya.
Senjata sudah siap dikokang dan ditembakkan ke arah istri serta anak Ahmad Yani. Keluarga Yani hanya bisa nangis sejadi-jadinya dan menjerit. Tak ada yang bisa menolong.
Pasukan Garnisun yang bertugas melakukan penjagaan di rumah Yani hanya melongo. Semua senjata mereka sudah dilucuti.
“Setelah kejadian itu, hanya terdengar suara kendaraan truk-truk menuju ke arah Pasar Rumput,” kenangnya.
(ameera/arrahmah.com)