JAKARTA (Arrahmah.com) – Raja dangdut Rhoma Irama sedang diterpa isu kampanye SARA, akibat ceramahnya yang meminta masyarakat untuk memilih pemimpin yang seiman dan seaqidah. Panwaslu pun melakukan pemanggilan kepada Rhoma terkait rekonstruksi kasus dugaan ceramah SARA yang tak ia hadiri dan mengaku sudah tahu adanya jadwal tersebut.
Namun karena kesibukan yang sangat padat, Rhoma meminta pengunduran waktu pemanggilannya. Hari ini, menurut Rhoma, dirinya harus memenuhi undangan ceramah dan menjadi Khatib Salat Jumat, kemudian langsung ke Bogor.
Kepada wartawan Rhoma menegaskan, dirinya tidak takut menghadapi pemanggilan oleh Panwaslu DKI Jakarta tersebut. Sebab, kata dia, ceramahnya itu disiarkan dalam kapasitasnya sebagai ulama. Dan bukan, sambung Rhoma, sebagai bagian dari tim kampanye atau juru kampanye pasangan Foke-nara.
Terkait kedatangan Geofedi Rauf yang merupakan anggota tim sukses pasangan Foke-Nara, Rhoma mengaku, tidak tahu-menahu. “Mungkin inisiatif dari tim kampanye pasangan Foke-Nara. Memang benar mereka menghubungi saya untuk menawarkan bantuan hukum atau advokasi terhadap pemanggilan Panwaslu, tapi saya tolak karena saya tidak takut,” tuturnya.
Rhoma juga merasa benar karena menyampaikan firman Allah di rumah Allah. Dia menuturkan, firman Allah yang dimaksud adalah salah satu ayat Al Quran yang berisikan larangan bagi umat Islam untuk memilih pemimpin yang beragama tidak Islam. Jika umat Islam memilih pemimpin yang kafir, Rhoma menegaskan, mereka justru akan menjadi musuh Allah.
“Apakah itu salah? Saya hanya menyampaikan kebenaran. Saya meyakini kebenaran ayat Al Quran. Saya wajib menyampaikan kebenaran kepada umat Islam,” imbuhnya.
Rhoma bahkan mengaku siap menjalani konsekuensi apabila ceramahnya terbukti melanggar tindak pidana Pemilukada dan tindak pidana umum. Dan tetap tidak akan menggunakan jasa pengacara dalam menjalani proses pemeriksaan yang melibatkan Panwaslu, polisi, dan jaksa tersebut.
Anjuran seiman bukan hasutan
Sementara itu, ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Asshiddiqie, mengatakan publik tidak perlu bereaksi negatif melihat isu SARA (suku, agama, ras, dan golongan) yang makin marak menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran kedua, 20 September 2012 depan.
“Yang dilarang itu menjelek-jelekkan, menghasut, dan menghina orang atau calon lain berdasarkan unsur SARA,” kata Jimly, Rabu, (1/8).
Jika ada yang menganjurkan untuk memilih calon karena seiman, menurut Jimly, hal ini sulit dikontrol. “Ini tidak ada larangannya. Yang dilarang itu yang menghasut atau menghina karena suku, agama, ras, dan golongan.”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan bahwa publik tak perlu takut membuka informasi soal suku, agama, atau ras seseorang. Dengan begitu, pemilih bisa mengenal calonnya dari berbagai segi dan pribadinya. Para pemimpin bisa menganjurkan pemilih untuk memilih berdasarkan hati nurani.
“Tapi jangan memilih orang karena faktor SARA. Tapi memilihlah karena calon dianggap terbaik dan bisa memimpin pemerintahan. Jadi, karena mutu, bukan SARA,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Jimly membayangkan pada masa depan masyarakat Indonesia akan semakin rasional dalam memilih calon pemimpinnya. Dia mencontohkan di Amerika Serikat, Barack Obama yang merupakan warga kulit hitam bisa menjadi presiden di negara mayoritas kulit putih. Sebelumnya, John F. Kennedy yang beragama Kristen Katolik juga bisa menjadi Presiden AS, negara yang mayoritas beragama Kristen Protestan. (bilal/dbs/arrahmah.com)