PARIS (Arrahmah.id) – Pavel Durov, pendiri dan CEO aplikasi perpesanan Telegram, telah ditangkap di bandara Bourget di utara Paris atas dugaan pelanggaran terkait aplikasi perpesanan miliknya.
Sumber-sumber lokal mengatakan pada Ahad (25/8/2024) bahwa Durov (39), melakukan perjalanan dengan jet pribadinya dari Azerbaijan dan bahwa surat perintah penangkapan Prancis menargetkannya sebagai bagian dari penyelidikan awal.
Pelanggaran yang ditujukan kepada Durov oleh OFMIN Prancis, sebuah lembaga yang menangani pencegahan kekerasan terhadap anak di bawah umur, meliputi penipuan, perdagangan narkoba, perundungan siber, dan kejahatan terorganisasi, menurut kantor berita AFP, yang mengutip pejabat yang berbicara dengan syarat anonim.
Miliarder Prancis-Rusia itu juga dituduh gagal mengambil tindakan terhadap penggunaan Telegram yang merugikan.
Durov menghadapi kemungkinan dakwaan pada Ahad (25/8), menurut media Prancis.
TF1 TV dan BFM TV, keduanya mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, mengatakan penyelidikan difokuskan pada kurangnya moderator dan bahwa polisi menganggap situasi ini memungkinkan aktivitas kriminal terus berlanjut tanpa hambatan di aplikasi perpesanan tersebut.
Salah satu penyelidik mengatakan kepada AFP bahwa mereka terkejut Durov memasuki Prancis meskipun ada surat perintah terhadapnya, dan menambahkan “cukup sudah impunitas Telegram”.
Sementara itu, Kedutaan Besar Rusia di Prancis telah menuntut akses konsuler ke Durov dan menuntut agar hak-haknya dijamin, kantor berita negara Rusia TASS melaporkan pada Ahad (25/8).
Kedutaan mengatakan Prancis sejauh ini “menghindari keterlibatan” dalam situasi dengan Durov. Diplomat Rusia sedang menghubungi pengacara Durov, kata kedutaan.
Dengan fitur enkripsi yang dimilikinya, Telegram, yang basis penggunanya mendekati satu miliar, diciptakan oleh Durov dan saudaranya pada 2013 di Rusia.
Aplikasi pengiriman pesan terenkripsi yang berkantor pusat di Dubai ini telah memposisikan dirinya sebagai alternatif bagi platform milik AS, yang telah dikritik karena eksploitasi komersial terhadap data pribadi pengguna.
Telegram telah berkomitmen untuk tidak pernah mengungkapkan informasi tentang penggunanya.
Dalam wawancara langka yang diberikan kepada pembawa acara bincang-bincang sayap kanan Tucker Carlson pada April, Durov mengatakan dia mendapat ide untuk meluncurkan aplikasi pesan terenkripsi setelah mendapat tekanan dari pemerintah Rusia saat bekerja di VK, jaringan sosial yang dia buat sebelum menjualnya dan meninggalkan Rusia pada 2014.
Ia mengatakan bahwa ia kemudian mencoba menetap di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco sebelum memilih Dubai, yang ia puji karena lingkungan bisnis dan “netralitasnya”.
Orang-orang “menyukai kebebasan. Mereka juga menyukai privasi, kebebasan, (ada) banyak alasan mengapa seseorang beralih ke Telegram,” kata Durov kepada Carlson.
Dia mengatakan saat itu bahwa platform tersebut memiliki lebih dari 900 juta pengguna aktif.
Dengan berpusat di Uni Emirat Arab, Telegram telah melindungi dirinya dari undang-undang moderasi pada saat negara-negara Barat menekan platform besar untuk menghapus konten ilegal.
Telegram memperbolehkan grup beranggotakan hingga 200.000 orang, yang menyebabkan munculnya tuduhan bahwa Telegram memudahkan penyebaran informasi palsu secara viral, serta memudahkan pengguna menyebarkan konten neo-Nazi, pedofilia, konspirasi, dan teroris.
Perang Rusia-Ukraina
Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 2022, Telegram menjadi sumber utama konten yang tidak difilter dan terkadang grafis dari kedua pihak yang bertikai.
Aplikasi ini banyak digunakan oleh pejabat Rusia dan Ukraina, termasuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Platform tersebut telah menjadi apa yang beberapa analis sebut sebagai ‘medan perang virtual’, yang digunakan secara luas oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan para pejabatnya, serta pemerintah Rusia.
Selain itu, karena semakin populernya Telegram, beberapa negara di Eropa, termasuk Prancis, telah meneliti aplikasi tersebut karena masalah keamanan dan pelanggaran data.
Perwakilan Rusia untuk organisasi internasional di Wina, Mikhail Ulyanov, menuduh Prancis bertindak sebagai masyarakat “totaliter”.
“Beberapa orang yang naif masih belum mengerti bahwa jika mereka memainkan peran yang lebih atau kurang terlihat di ruang informasi internasional, tidak aman bagi mereka untuk mengunjungi negara-negara yang bergerak menuju masyarakat yang jauh lebih totaliter,” tulis Ulyanov di X.
Beberapa blogger Rusia telah menyerukan protes di luar kedutaan besar Prancis di seluruh dunia.
Namun Ben Aris, pemimpin redaksi bne IntelliNews mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Durov juga bermasalah di Rusia karena ia menolak memberi Kremlin akses ke kunci elektronik yang akan memungkinkan mereka membaca pesan pribadi Telegram.
Rusia mulai memblokir Telegram pada 2018 setelah aplikasi tersebut menolak mematuhi perintah pengadilan untuk memberikan layanan keamanan negara akses ke pesan terenkripsi milik penggunanya.
“Durov berada di Azerbaijan, tempat Putin baru-baru ini berada… dia mungkin mencoba melobi Putin untuk menghentikan pemblokiran Telegram di negara tersebut,” kata Aris.
Sementara itu, maestro teknologi dan miliarder Elon Musk juga mengkritik penangkapan Durov, dengan mengatakan, “Sekarang 2030 di Eropa, dan Anda dieksekusi karena menyukai meme.”
Telegram tidak segera menanggapi dan Kementerian Dalam Negeri serta polisi Prancis tidak berkomentar, kata kantor berita Reuters. (zarahamala/arrahmah.id)