LAGOS (Arrahmah.com) – cendekiawan Muslim Nigeria telah menolak anggapan bahwa pernikahan dini memiliki efek negatif terhadap pasangan yang terlibat, dan menegaskan bahwa kerusakan pada nilai-nilai masyarakat dan kegagalan untuk mematuhi aturan-aturan Allah yang telah menimbulkan banyak masalah.
“Tidak ada masalah dengan pernikahan dini. Sejauh Islam memandang, pernikahan dini tidak ada pengaruhnya terhadap kemunduran kemanusiaan. Dan kalau dipikir-pikir, tidak ada agama atau budaya yang memiliki patokan usia tertentu untuk menikah,” Sheikh Dzikrullahi Shaafihi, seorang ulama Nigeria mengatakan kepada OnIslam.net, Kamis, (25/4/2014).
“Apapun masalah yang Anda kaitkan dengan pernikahan dini tidak pada tempatnya. Masalahnya adalah berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat telah gagal dalam tanggung jawabnya. Orang tua telah gagal dalam tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka, terutama dalam hal pernikahan.”
Sheikh Shaafihi bercerita soal penangkapan terbaru terhadap pengantin wanita berusia 14 tahun di negara bagian Kano Nigeria, dimana polisi mengklaim bahwa dia telah menaruh racun ada makanan yang dimakan oleh suaminya yang berusia 35 tahun dan teman-temannya.
Suaminya, Umar Sani, dan tiga orang temannya meninggal tak lama setelah memakan hidangan tersebut.
Direktur Eksekutif Yayasan Zakat dan Shadaqah Imam Abdullahi Shuaib sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Sheikh Shaafihi. Dia juga menegaskan bahwa kekerasan sosial yang terjadi dalam banyak pernikahan merupakan bagian dari “krisis kontemporer” yang berhubungan dengan kegagalan untuk melakukan apa yang benar.
Shuaib juga mengatakan bahwa pandangan modernisme seperti mengecilkan arti jalinan keluarga yang akrab telah berperan dalam menimbulkan konflik pada kebanyakan keluarga, baik muda atau tua.
Imam Shuaib mengatakan bahwa yang paling penting bukanlah mengenai usia pengantin tetapi kondisi fisiologis calon pengantin yang menurutnya harus mampu memikul beban pernikahan.
“Aspek kedua adalah apakah fisiologis pengantin wanita telah mencapai usia matang atau sebaliknya. Apakah anak itu sudah matang atau belum siap untuk memikul tanggung jawab perkawinan,” katanya kepada OnIslam.net.
“Dari perspektif Islam salah satu kasus yang biasanya orang-orang merujuk adalah pernikahan Nabi saw dengan Aisyah R.a saat beliau berusia sekitar sembilan tahun. Tapi secara fisiologi Aisyah sudah menjadi anak dewasa. Ya dalam hal usia, memang masih dini. Tapi dalam hal pertumbuhan fisiologis, beliau sudah matang.”
Mengenai masalah besar yang menimpa banyak pernikahan di Nigeria, cendekiawan Muslim menekankan perlunya peran orang tua dan masyarakat untuk memberdayakan semua orang terutama anak perempuan dengan pendidikan, akhlak dan pemberdayaan lainnya sebelum menikah.
“Islam membawa banyak pembaharuan dan bahkan lebih unggul dalam menawarkan jalan keluar untuk menyelesaikan krisis pernikahan,” kata Sheikh Shaafihi.
“Pertama, Islam menganjurkan agar kita mengajari anak perempuan kita sebelum memasuki pernikahan. Harus ada penanaman akhlak. Misalnya, Nabi mengajarkan bahwa kita harus mengajarkan / memerintahkan anak-anak kita untuk melaksanakan salat dan jika pada usia sepuluh tahun anak-anak menolak untuk shalat, kita dapat menerapkan beberapa hukuman. Itu merupakan pelatihan.“
Senada dengan Imam Shuaib, Sheikh Shaafihi mengatakan bahwa kedua keluarga yang terlibat dalam pernikahan memiliki tanggung jawab untuk mendampingi pasangan tersebut, tua atau muda.
“Dalam syariat Islam ketika anak Anada menikah, itu tidak berakhir di situ,” kata Imam Shuaib.
“Mereka berhak mendapat perhatian dari kita, terlepas dari status perkawinan mereka. Itulah yang diajarkan oleh Islam. Meskipun Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan Fatimah untuk menikah dengan Ali, beliau masih mengecek mereka dan bertanya tentang kesejahteraan mereka. Beliau masih membimbing mereka. Tapi hari ini setelah anak-anak kita memasuki kehidupan perkawinan mereka, kita mengasumsikan bahwa tanggung jawab kita telah berakhir di sana. Itu tidak benar.”
“Jika orang tua / wali terus mendampingi anak-anak mereka, semua masalah sosial yang kita bicarakan ini tidak akan muncul sejak pertama kali. Ini adalah tugas dari ibu pengantin untuk terus mendampinginya. Hal yang sama untuk ayah, kakak, adik untuk bertanya tentang kesejahteraan mereka dengan maksud untuk memberikan dukungan moral dan psikologis. Pada dasarnya, efek sosial dari pernikahan dini yang muncul karena kita telah gagal untuk menjalankan peran sendiri dengan bersembunyi dibalik kata peradaban.“
“Kita harus mempersiapkan mereka secara sosial, ekonomi, psikologis, dan bahkan intelektual. Ada sekitar delapan persiapan yang berbeda. Tapi berapa banyak dari kita yang telah membekali anak-anak kita dengan dasar-dasar tersebut? Ini bukan tentang pernikahan dini, ini adalah tentang komunitas kita yang gagal dalam tugas kita untuk anak-anak kita. Kita telah melihat orang-orang yang lulus dari universitas dan telah cukup umur untuk menikah, tapi pernikahan mereka runtuh setelah satu tahun atau bahkan kurang.”
“Jadi ini bukan tentang masalah usia. Ini adalah tentang kita yang tidak menjalankan tugas kita dengan cara yang benar. Kita menolak untuk mematuhi norma-norma agama dan bahkan budaya kita. Itulah masalah kita. Dan Itu adalah masalah yang sebenarnya.”