NEW DELHI (Arrahmah.com) – Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan India ke-74 yang jatuh pada tanggal 15 Agustus, seorang penulis dan cendekiawan Waseem Ahmed Saeed menyerukan agar masyarakat India mengingat kembali peran umat Islam dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan India.
Dalam bukunya yang berjudul Kala Pani: Gumnam Mujahideen-e-Azadi pada tahun 1857, Saeed mengatakan umat Islam telah berjuang sejak dimulainya pertempuran Plaessy di Bengal pada tahun 1757, pertempuran Seringapatam Sultan Tipu di India Selatan pada tahun 1799, hingga pertempuran besar-besaran melawan Inggris pada tahun 1857 dipimpin oleh umat Islam.
Banyak cendekiawan dan sejarawan Muslim mengatakan bahwa peran leluhur mereka dalam perjuangan kemerdekaan telah diabaikan.
Syed Jamaluddin, direktur proyek penelitian sejarah di Institute of Objective Studies, mengatakan bahwa tidak ada cakupan yang memadai tentang peran Muslim India dalam gerakan nasional.
“Kontribusi kaum revolusioner Muslim, penyair, dan penulis dari umat Muslim tidak diketahui hingga kini. Demikian pula, hanya sedikit diketahui masyarakat luas tentang kontribusi orang-orang seperti Ali Musliyar dan Bi-Amma, yang telah memberikan kontribusi sangat besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan India,” ungkapnya kepada koresponden Anadolu Agency.
Atas keprihatinannya tersebut, kini Syed Jamaluddin tengah menulis sebuah buku mengenai peran Muslim dalam perjuangan meraih kemerdekaan India.
Jamaluddin juga menyebutkan bahwa pemberontakan Fakir Sannyasi, pemberontakan bersama melawan kolonial yang dipimpin oleh tokoh Muslim dan Hindu, agar pihak penjajah tidak memungut pajak dari penduduk setempat, telah dimulai sejak tahun 1764 hingga tahun 1850.
Tetapi perlawanan yang paling menonjol dan paling populer hingga mampu memukul mundur panjajah Inggris pada awal abad ke-20 adalah perlawanan Reshmi-Rumaal Tehreek (Gerakan Kain Sutra) yang dipimpin oleh Maulana Ubaidullah Sindhi dengan dibantu Turki, Jerman dan Afghanistan.
Seorang cendekiawan Muslim terkemuka lainnya, Abdul Hameed Nomani berkata kepada koresponden Anadolu Agency, bahwa terlepas dari upaya terbaiknya, kontribusi Sindhi belum dimasukkan dalam sejarah resmi India.
Bersama dengan pangeran India Raja Mahender Pratap Singh, Sindhi dan Maulvi Barakatullah telah mendirikan pemerintahan pengasingan India di Afghanistan pada 1915.
“Gerakan perlawanan yang dilakukan Sindhi terjadi pada waktu yang sama ketika Subhash Chandra Bose (pejuang kemerdekaan India yang terkenal) bersekutu dengan Jerman dan Jepang untuk mengusir Inggris dari tanah India. Meski Bose dielu-elukan dan dijadikan pahlawan nasional, namun tidak banyak yang mengetahui tentang Sindhi dan kawan-kawan seperjuangannya,” ujar Nomani, yang juga menjabat sebagai sekertaris jenderal Majelis Mushawarat Muslim seluruh India, sebuah organisasi Muslim terkemuka.
Gerakan perlawanan yang dilakukan Sindhi dinamakan dengan Gerakan Kain Sutra, karena Sindhi dan para pemimpin lainnya biasa menulis surat dan arahan kepada para kadernya di lembaran kain sutra.
Setelah itu, Sindhi pergi ke Turki dan bergabung dengan perjuangan nasional negara Turki.
“Gerakan yang dipimpin Sindhi mengarah pada pembentukan koalisi Indo-Jerman-Turki untuk mendorong suku-suku lokal di perbatasan Afghanistan menyerang Inggris dan segala bentuk penjajahannya. Meski pun akhirnya tokoh-tokoh penting dalam gerakan tersebut ditangkap oleh Inggris, namun gerakan tersebut tetap menjadi peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan India,” imbuhnya.
Naomi juga mengatakan meski pada tahun 2011 pemerintah merilis perangko untuk memperingati gerakan perlawanan yang dilakukan Sindhi, namun belum ada sejarah resmi India yang mencatat pengorbanan Sindhi dan rekannya Mahmud Hasan serta Husayn Ahmad.
“Hanya referensi sekilas yang dibuat mengenai peran Muslim dalam perjuangan kemerdekaan India,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)