JAKARTA (Arrahmah.com) – Niat baik Polisi Tangerang dengan melakukan peneguran terhadap perempuan bercelana pendek, ternyata mendapat respon yang negative dari komnas perempuan. Polisi sebelumnya telah memberi alasan bahwa mereka menegur adalah untuk menghindari tindak pornoaksi dan hal-hal yang tidak diinginkan. Tak dianggap oleh Komnas Perempuan.
“Seharusnya kata-kata tersebut tidak keluar dari aparat negara,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah saat ditanya pendapatnya mengenai peristiwa tersebut di Jakarta(12/1).
Lebih dari itu Masruchah mengungkapkan bahwa polisi sebagai pelindung masyarakat seharusnya memposisikan diri sebagai pengaman, bukannya melarang dan berkata seolah remaja tersebut bisa menjadi penyebab tindak pornografi.
Menurutnya, dalam konteks kebebasan berekspresi seharusnya tidak ada pelarangan mengenai bagaimana perempuan boleh berpakaian.
“Kalau main larang dengan alasan bisa mengundang nafsu, sama saja polisi melempar tanggung jawab kepada perempuan,” tambahnya.
Sopan atau tidaknya berpakaian menurut kategori tertentu adalah masalah konteks kenyamanan. Perempuan seharusnya bebas berpakaian sesuai kenyamanan masing-masing.
Masruchah berujar bahwa kejahatan seksual bisa terjadi di mana pun dan pada siapa pun, bahkan pada yang berpakaian tertutup.
“Ini kan soal cara pandang ya. Seksualitas bukan ada di tubuh melainkan di pemikiran. Jika ada kasus kejahatan seksual, perempuan yang disalahkan karena dianggap mengundang,” ungkapnya.
Penyadaran harusnya diberikan kepada pelaku. Hal ini penting karena masalah moral adalah tanggung jawab seluruh masyarakat dan tentunya digerakkan oleh pemerintah.
Perubahan pola pikir dalam memandang seksualitas perempuan sebagai pemicu kejahatan seksual tentunya harus sihapuskan.
“Jika pakai celana pendek saja dilarang, bisa-bisa kemudian perempuan dilarang nonton bola dan lama-lama perempuan bisa dilarang keluar rumah,” tukas Masruchah.
Kejahatan seksual,berasal dari cara pandang?
Pelecehan terhadap wanita bukan hanya disebabkan oleh cara pandang. Karena dorongan seksualitas dibentuk dan dipicu pula oleh tampilan fisik, mustahil cara pandang dapat melakukan kejahatan seksual jika tidak ada pemicu yang membentuk cara pandang tersebut.
Komnas perlindungan anak pada 2010, pernah menjelaskan perihal peningkatan pelecehan seksual terhadap anak akibat menonton film porno. Pada 2009, dari 1.998 pelapor, 14 hingga 16 persennya adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak. Pada 2010 ini meningkat tajam. Dari 2.146 pelapor, 60 persennya adalah laporan kekerasan seksual terhadap anak.
“Pemicunya adalah VCD/DVD porno yang semakin mudah didapat,” ujarr Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait Rabu (3/11). Dia mengatakan, sejak di bangku kelas 4 dan 5, anak sudah menikmati tayangan film porno.
Arist mengatakan fonemena sekarang ini, film porno ditonton anak-anak yang baru mau beranjak dewasa. Anak kemudian tidak mampu mengontrol hasrat seksualnya sehingga melakukan kekerasan seksual terhadap lawan jenisnya yang masih seumuran atau di bawahnya. Kalau tidak, sesama anak-anak yang masih belasan tahun berhubungan suami-istri tanpa paksaan. “Ini parah,” cetusnya. (bilal/dbs/arrahmah.com)