JAKARTA (Arrahmah.id) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengajak semua pihak memperkuat implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi (UU PLP) untuk membantu peran sekolah dalam pendampingan, konseling, dan pengenalan jiwa setiap anak.
“Ini kebutuhan yang tidak bisa ditunda,” kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra di Jakarta, Jumat (4/8/2023) seperti dikutip dari Antara.
Hal itu dikatakan Jasra Putra menyusul terjadinya kasus kekerasan anak di SMA di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang diduga berawal dari adanya perundungan.
“Saat peristiwa terjadi, kita baru bisa mengukur dan membayangkan begitu fatal-nya peristiwa bullying yang dialaminya (pelaku), sehingga berani membuat aksi nekat penusukan itu,” kata Jasra Putra.
Dia menegaskan merujuk pada UU PLP maka setiap anak atau peserta pendidikan harus mendapatkan layanan psikologis yang layak dari profesional.
Jasra menerangkan berdasarkan data Layanan Pokja Pengaduan KPAI pada Januari sampai Juni 2023 pada kasus perlindungan anak di ranah pendidikan mencatat ada 97 pengaduan yang didominasi korban perundungan di satuan pendidikan.
“Kejadian yang diketahui dan dilaporkan tampak sedikit, padahal ada banyak kasus yang sebenarnya tak terungkap,” kata Jasra Putra.
KPAI pun meminta institusi pendidikan melengkapi instrumen pendaftaran dengan riwayat kejiwaan anak, riwayat pengasuhan anak, dan riwayat kesehatan anak sejak anak mendaftar sekolah dan pembinaan kejiwaan yang spesifik setiap anak.
“Instrumen ini bukan hanya menyoal sehat jiwa, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dalam pendidikan kejiwaan yang berkelanjutan bagi anak,” kata Jasra Putra.
Kasus perundungan atau bullying di lingkungan sekolah mencuat kembali ke permukaan setelah seorang siswa SMA di Banjarmasin menikam temannya di kelas.
Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin Kompol Thomas Alfian mengatakan motif pelaku menusuk temannya diduga lantaran korban kerap dirundung oleh korban.
Namun ayah korban penusukan yang melaporkan ke pelaku membantah soal tuduhan perundungan itu. Dia mengklaim tidak ada bukti rundungan kepada pelaku yang dilakukan oleh anaknya. Kini korban dalam perawatan di rumah sakit.
Beberapa waktu lalu di Temanggung, seorang siswa SMP melakukan pembakaran sekolah juga karena diduga kesal jadi korban perundungan. Dia pun diduga kesal pihak sekolah mengabaikan pelaporan dirinya soal perundungan. (haninmazaya/arrahmah.id)