XINJIANG (Arrahmah.com) – Kamp ekstra-yudisial Cina yang diperuntukkan bagi masyarakat Uighur dan Muslim lainnya di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) tahun lalu dapat memenuhi definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata panel penasehat kongres AS dalam laporan tahunannya, yang dirilis pada Rabu (8/1/2020).
Anggota parlemen juga berharap bahwa undang-undang untuk membuat Beijing bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Xinjiang akan segera disahkan.
Laporan tahunan yang disusun oleh Komisi Kongres-Eksekutif Cina (CECC) mencakup periode dari Agustus 2018 hingga Agustus 2019, telah merinci pelanggaran berat dalam sistem kamp di Xinjiang, di mana pihak berwenang diyakini telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan Muslim lainnya.
“Personel keamanan di kamp-kamp itu menyiksa para tahanan baik dengan cara dipukul; disengat listrik; pengabaian medis; dipaksa untuk menelan obat; kurang tidur; kurungan isolasi diperpanjang; dan memborgol atau membelenggu dalam waktu lama,” kata laporan itu, sebagaimana dilansir RFA.
Bentuk-bentuk penganiayaan lainnya di kamp-kamp seperti terbatasnya akses ke toilet, hukuman untuk perilaku yang dianggap religius, kerja paksa, jumlah tahanan yang berlebihan dalam satu sel, kekurangan makanan, dan indoktrinasi politik, ungkap laporan tersebut.
Dilaporkan juga bahwa beberapa tahanan meninggal di kamp-kamp karena buruknya kondisi , kelalaian medis, dan alasan lain.
“Para ahli dan kelompok hak asasi manusia memberikan argumen yang kuat, berdasarkan bukti yang ada, bahwa kerangka kerja ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ dapat diterapkan pada kasus kamp-kamp massal yang didirikan di Xinjiang,” kata laporan itu lebih lanjut.
Laporan itu mengatakan bahwa penahanan sewenang-wenang Cina terhadap Muslim Uighur, Kazakh, dan etnis minoritas lainnya di kamp-kamp massal; penyiksaan tahanan di kamp-kamp; penargetan kelompok minoritas tertentu; dan penculikan ratusan intelektual memenuhi definisi yang ditetapkan dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, yang memuat daftar tindakan yang termasuk “kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Sementara Beijing awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp itu, Cina tahun lalu mengubah taktik dan mulai menggambarkan fasilitas sebagai “sekolah asrama” yang menyediakan pelatihan kejuruan untuk Muslim Uighur, mencegah radikalisasi, dan membantu melindungi negara dari terorisme.
Tetapi laporan yang diunggah oleh kantor berita RFA dan media lainnya menunjukkan bahwa mereka yang berada di kamp ditahan atas kehendak Cina dan menjadi sasaran indoktrinasi politik. Para tahanan secara rutin menghadapi perlakuan kasar dari para pengawas mereka, dan mendapatkan makanan yang buruk serta kondisi yang tidak higienis di sel yang penuh sesak.
CECC mengatakan bahwa pihak berwenang dilaporkan menempatkan anak-anak tahanan di panti asuhan dan fasilitas lainnya, meskipun ada kerelaan kerabat untuk merawat mereka, namun hal tersebut “meningkatkan kekhawatiran mengenai adanya asimilasi paksa” ke dalam mayoritas budaya Cina Han.
Komisi itu juga menyoroti penggunaan teknologi dan informasi canggih Cina untuk mengendalikan dan menekan warganya, terutama di Xinjiang.
“Di luar kamp, pemerintah Tiongkok dan Partai komunis yang berkuasa telah menciptakan sistem pengawasan canggih dan berteknologi tinggi di XUAR yang oleh beberapa pengamat disebut ‘penjara terbuka’ untuk membentuk ‘platform kepolisian Orwellian’ yang memungkinkan otoritas untuk memperketat kontrol mereka atas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di wilayah itu,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)