Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) – Indonesia meninggalkan tahun 2013 bergerak mengikuti pendulum waktu masuk 2014.Ada satu soal yang kerap saya dapatkan dalam beragam perhelatan diskusi (majlis) selama masa kurun waktu 2013; kapan terorisme di Indonesia akan berakhir?. Saya banyak melihat wajah pesimis dengan soal tersebut, karena berpijak kepada asumsi “terorisme” sudah menjadi komoditi penting bagi pihak tertentu. Ada sebagian yang optimis karena melihat komitmen pemerintah melalui seluruh instrumen terkait yang dimilikinya, terlihat berkerja secara massif sistemik bahkan dengan kekuatan yang sangat eksesif.
Bagi saya, dalam tataran konsep secara sederhana terorisme akan berakhir atau minimal teredam jika faktor (akar) dan sebab-sebab pemicunya juga hilang. Namun soal “terorisme” di Indonesia bukan hal sederhana. Karena perang melawan terorisme dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia adalah produk kebijakan politik keamanan Nasional resonansi dari politik keamanan global dimana Barat menjadi episentrum pemegang kepentingan. Kebijakan politik keamanan yang berdiri diatas “doktrin” tendensius dan tidak obyektif serta tidak jujur, karenanya ditahun-tahun mendatang isu terorisme akan terus menyeruak eksis.Tahun 2014 bukan akhir cerita terorisme di Indonesia, bahkan ditataran global terorisme telah menjadi judul baku sebuah “drama” panjang imperialisme Barat.
Kenapa saya katakan “doktrin” tendensius, tidak obyektif dan tidak jujur?. Karena kebijakan politik keamanan telah terpasung dalam mindset (paradigma) yang menempatkan Islam Ideologis sebagai akar terorisme. Sederhananya, radikalisme pemikiran dalam Islam adalah akar terorisme. Dan membuat simplikasi aksi-aksi terorisme terkait dengan nilai kayakinan radikal yang berkembang di Indonesia. Ini adalah realita mindset yang tendensius dan berimplikasi kepada pemahaman tentang terorisme dan solusinya tidak tepat. Namun secara culas menutupi faktor dan sebab-sebab utama lainnya yang tidak kalah penting. Padahal jika mau jujur dan obyektif sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Di samping adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun yang kemudian di cap terorisme.
Oleh karena itu, menurut saya kontra terorisme di Indonesia berangkat dari perspektif konyol, semua piranti dan perangkatnya (khususnya Densus88 dan BNPT) telah menempatkan Islam dan sebagian kelompok umatnya sebagai musuh. Dan ketika Indonesia dianggap sebagai negara yang berdiri tidak berdasarkan agama maka otomatis menempatkan Islam Ideologis dan pengusungnya secara diametrikal sebagai musuh terhadap eksistensi NKRI. Dan “doktrin” ini menjadi energi untuk terus menerus memangkas setiap geliat kebangkitan Islam Ideologis di Indonesia. Menjadi legitimasi “drama” perang melawan terorisme untuk di lembagakan dan dilestarikan dengan beragam makar (muslihat)-nya. Dan terlihat sekali bahwa target jangka panjang dibalik proyek perang melawan terorisme adalah membungkam kebangkitan kekuatan politik Islam dan umatnya, serta dalam rangka menjaga Indonesia dalam bingkai sekulerisme dan menjadi ordinat kepentingan imperialisme modern Barat.
Muslihat penghancuran yang baru?
Di Indonesia perang melawan “terorisme” berdiri diatas dua startegi utama yaitu hard power; dengan melakukan penindakan dan penegakkan hukum. Menggerakkan aparat kepolisian (khususnya Densus88) dan Satgas Penindakan BNPT. Dan soft power; dengan membuat banyak regulasi (UU) untuk menjadi payung dan legitimasi tindakan kontra terorisme lebih efektif. Bahkan langkah kontra ideologi (deradikalisasi) juga dilaksanakan. Tapi keduanya terjebak dalam framework kultural (paradigm entrapment), mengidentifikasi kekerasan dan teror inheren dalam Islam dan kelompok-kelompok yang di cap radikal. Akibatnya baik strategi hard power maupun soft power yang diemban Densus 88 dan BNPT seperti menjadi pemantik kekerasan demi kekerasan. Karena menempatkan kelompok-kelompok radikal secara general sebagai ancaman aktual dan potensial. Pendekatan soft power-nya melahirkan kontraksi pemikiran dan membuat kutub radikal-liberal makin kontradiksi diametrikal. Pendekatan hard power yang mengesampingkan kaidah-kaidah hukum makin membuat antipati dan distrush terhadap nilai keadilan.
Jelas dua strategi utama tersebut justru seperti “produsen” spiral kekerasan menggeliat tanpa kendali. Dari pernyataan BNPT (Ansyaad Mbai), sejak tahun 2000 sudah 900 orang ditangkap terkait aksi teror. 600 orang di vonis bersalah dan dipenjara dan ada yang di eksekusi mati. Sementara data dari kepolisian sejak tahun 2000 hingga 30 April 2013 dipaparkan 845 orang sudah ditangkap. 83 orang meninggal dunia,11 orang meninggal dengan aksi bom bunuh diri dan 5 orang dieksekusi mati. 6 orang divonis seumur hidup, masih dalam proses persidangan 47 orang, proses penyidikan 10 orang dan yang sudah di vonis 618 orang. Ada 65 orang dikembalikan ke keluarganya karena tidak terbukti.Dan kelompok JAT yang didirikan ustad Abu Bakar Ba’asyir masih dikaitkan dengan jaringan teror di Indonesia paska JI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Dari “prestasi” angka diatas apakah menunjukkan keberhasilan? Dan apakah langkah Densus88 dan BNPT dengan proyek counter ideologinya berhasil mematikan “terorisme”?
Saya mengeja, jika perang melawan terorisme dalam jangka pendek dan jangka panjang diarahkan kepada kelompok Islam dengan cita-cita tegaknya Islam ideologis-nya maka langkah ini telah dan akan mengalami kegagalan. Maka strategi atau muslihat apa yang akan dipakai untuk menghancurkan kelompok atau gerakan-gerakan Islam yang dianggap sebagai ancaman potensial dan aktual terhadap Indonesia dengan sekulerismenya?
Kita bisa mencatat beragam strategi yang telah diemban oleh status quo melalui instrument aparat kemanananya terhadap kelompok-kelompok Islam dengan atas nama perang melawan “terorisme” di Indonesia;
Pertama; Teror fisik dan non fisik
Kedua; Penculikan
Ketiga; Penangkapan, penyiksaan dan dipenjarakan
Keempat; Pembunuhan diluar proses peradilan
Kelima; Fitnah dan pengucilan
Keenam; Mematikan dan menggangu sumber penghidupan
Ketuju; Perang opini dan propaganda, untuk mendiskriditkan individu-individu tertentu.
Kedelapan; Counter Ideologi dengan langkah-langkah deradikalisasi pemikiran.
Kesembilan; Membuat regulasi untuk mempersempit ruang gerak individu dan kelompok
Kesepuluh; Memata-matai secara intens
Dan ketika langkah-langkah diatas dianggap tidak berhasil untuk membungkam gerakan/kelompok Islam yang dianggap membahayakan NKRI maka sangat mungkin kedepan masuk pada fase-fase kerja intelijen lebih massif (sebagai strategi kesebelas).
Dan strategi kesebelas tersebut adalah; Penetrasi (eksfiltrasi) dan inflitrasi. Sebuah aksi Klandestin menyusup ke organisasi lawan (kel.Islam yang di cap radial). Dalam intelijen dua langkah tersebut berbeda; inflitrasi dilakukan jika Klandestin masuk dari luar ke dalam organisasi lawan, sedangkan eksfiltrasi atau yang biasa disebut penetrasi dilakukan Klandestin berasal dari anggota organisasi sasarannya itu sendiri setelah melalui langkah “penggalangan”. Klandestin sendiri adalah sebuah aksi rahasia (bawah tanah) yang dilakukan secara terorganisir untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Dan seringkali intelijen-nya berkerja secara kompartemental sehingga mereka yang bertugas dilapangan tidak saling mengenal satu sama lainnya sesama agen (intelijen).Karakter gerakan Klandestin seperti ini akan banyak melakukan agenda untuk koleksi informasi kekuatan sasaran, melancarkan propaganda, agitasi, menghasut massa, melakukan disepsi dengan menebarkan berita dan dokumen-dokumen palsu, menebarkan fitnah untuk mengecoh lawan, mengadu domba, bahkan lebih dari itu.
Dan ketika wacana dan dorongan dalam proyek deradikalisasi tentang keterlibatan kelompok radikal dalam wadah dan mekanisme sistem politik yang ada tidak di gubris, dan merasa strategi kanalisasi seperti ini gagal, bahkan kesepuluh langkah startegi diatas juga tidak menyelesaikan masalah maka mau tidak mau kedepan yang paling menonjol adalah menghancurkan lawan dari dalam (inflitrasi dan penetrasi).
Prediksi saya kelompok-kelompok Islamis yang dilabeli radikal, fundamentalis bahkan lebih khusus yang dituduh terkait jaringan teroris akan dihadapkan kepada ujian dan tantangan gerakan klandestin (makar) ini oleh aparat terkait. Langkah Klandestin ini sejatinya sudah berlangsung tapi akan ditingkatkan kuantitas dan kwalitasnya targetnya. Dan sudah banyak pelajaran dalam dunia pergerakan Islam musuh-musuh dalam selimut ini jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh yang tampak dihadapan kita. Dan kaidah “kam fiina laisa minna, wa kam minna laisa fiina”–Berapa banyak orang bersama kita tapi bukan orang kita, dan berapa banyak orang kita yang tidak bersama kita-, maka waspadalah! Wallahu a’lam bisshowab (Kampung Kauman, CIIA 2013-2014). (arrahmah.com)