Oleh : Muhammad Abdullah (Pemerhati isu-isu jihad Islam)
(Arrahmah.com) – BNPT mendatangkan tiga ulama Timur Tengah dalam rangkaian program deradikalisasi terhadap para narapidana “terorisme” di Indonesia. Ketiga ulama tersebut adalah Ali Hasan Al-Halabi (ulama kelompok salafi Yordania, dikenal luas sebagai tokoh Murjiah kontemporer), dr. Najih Ibrahim (mantan pendiri dan pimpinan Jama’ah Islamiyah Mesir, pernah mendekam 25 tahun penjara di era diktator sekuler Husni Mubarak) dan Hisyam An-Najjar (sumber situs Salafi Mesir menyatakan dia ulama kelompok salafi dan caleg partai Salafi An-Nur dari provinsi Alexandria, namun penerjemah BNPT menyatakan ia adalah mantan jubir resmi Jama’ah Islamiyah Mesir).
Para ulama BNPT berada di Indonesia dari 8-14 Desember 2013, ketiganya melakukan dialog dengan napi “terorisme” di LP Cipinang dan Nusakambangan, menggelar konferensi Internasional di UI Depok dan melakukan wawancara media dengan Metro TV.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari kegiatan “deradikalisasi” ketiga ulama Timteng tersebut di Indonesia.
Pertama, kehadiran ketiganya di Indonesia adalah atas inisiatif dan undangan BNPT. Maka tujuan ketiganya, walau mereka menegaskan semata-mata datang karena rasa cinta dan menginginkan kebaikan bagi para napi “terorisme” dan kaum Muslimin Indonesia, tak bisa dilepaskan dari agenda dan program-program BNPT. Islam mengajarkan kita untuk menilai seseorang dari zhahirnya. Jika seseorang datang kepada kita di atas kendaraan perang musuh, sudah wajar bahkan seharusnya bagi kita untuk waspada, curiga dan menilai secara lahiriahnya.
Kedua, ketiga ulama tersebut berbicara tentang dua tema sentral; takfir (pengkafiran) dan tafjir (peledakan). Mereka berkelit bahwa mereka tidak sedang memposisikan para napi “terorisme” sebagai para teroris yang serampangan mengkafirkan kaum muslimin. Mereka berdalih bahwa takfir dan tafjir pada saat ini merupakan perkara yg menjadi gejala umum, bukan saja di Indonesia, namun juga di Mesir, Tunisia, Libya, Yordania, Aljazair dan lain-lain. Setiap hari atau setiap pekan ada penyerangan terhadap tentara dan polisi serta perusakan gereja di Mesir.
Frame berfikir mereka tersebut jelas-jelas versi Barat dan kelompok anti Islam. Selain juga sangat bertentangan dengan fakta di lapangan, terlebih di Mesir sendiri. Ketiga ulama tersebut masih terkungkung oleh frame Barat dan anti-Islam yang mendefinisikan terorisme sebagai “gerakan yang mengangkat senjata utk membela kaum Muslimin, tanah air kaum Muslimin dan menegakkan syariat Islam.”
Kasus napi “terorisme” di Indonesia misalnya, sangat beragam latar belakang dan faktanya. Contoh, sebagiannya adalah kasus jihad membela kaum Muslimin dari serangan Nasrani di Poso dan Ambon. Dalam Islam itu adalah jihad membela diri yang disyariatkan. Sebagiannya adalah kasus latihan “militer” di Aceh, dalam Islam terhitung I’dad yang juga diperintahkan Allah Ta’ala. Sebagian lainnya adalah juru dakwah yang mendakwahkan tauhid dan penegakan syariat. Sebagian lainnya adalah kasus anggota POLRI yang terlibat kasus jual beli senjata untuk mengisi kantong pribadi. Dan ada kasus-kasus lainnya yg beragam latar dan faktanya.
Memukul rata semua kasus sebagai “terorisme” dan dikait-kaitkan dengan takfir dan tafjir jelas tidak akan dilakukan oleh ulama yang obyektif, jujur, amanah dan paham realita.
Sangat wajar jika kemudian umat Islam mempertanyakan kepada ketiga ulama tersebut; Kenapa Anda tidak membicarakan penyerangan dan kebiadaban milisi Nasrani terhadap kaum Muslimin di Poso dan Maluku? Kenapa Anda tidak membicarakan hukum syariat dalam masalah latihan “militer”? Kenapa Anda tidak membicarakan latihan militer orang-orang Nasrani dan Syiah di Indonesia? Kenapa pula Anda tidak membicarakan kegigihan rezim Indonesia sejak dulu sampai sekarang dalam memerangi usaha penegakan syariat? Dan banyak pertanyaan lainnya yang sangat layak ditanyakan kepada ketiga ulama tersebut.
Setidaknya ketiganya berbicara hanya menurut data dan informasi sepihak dari pihak pengundang, BNPTN yg jelas2 sangat anti Islam.
Ketiga, tentang definisi terorisme dan sosok teroris. Pasca serangan 9/11 para pengamat, illmuwan dan warga negara Barat semakin banyak yang memahami bahwa kebencian kaum Muslimin dan peperangan kaum Muslimin (mujahidin atau biasa dituding “teroris”) terhadap Amerika, Israel, Inggris, Perancis dan Barat bukanlah karena faktor mereka sebagai warga negara Barat. Namun disebabkan kezaliman-kezaliaman dan serangan-serangan Barat sendiri terhadap kaum Muslimin. Utamanya sekali di Palestina, Irak dan Afghanistan.
Kebiadaban penjajah Yahudi yang menduduki Palestina dengan dukungan Inggris dan restu negara-negara adidaya dunia seperti Amerika, Perancis dan Rusia lewat PBB pada 1948 sampai saat ini. Pembantaian penjajah Yahudi terhadap jutaan kaum Muslimin Palestina, pengusiran penjajah Yahudi terhadap jutaan kaum Muslimin Palestina, agresi militer penjajah Yahudi ke Jalur Gaza, penistaan penjajah Yahudi terhadap kesucian Masjidil Aqsha di kota Al-Quds, penggusuran rumah-rumah warga Muslim Palestina dan penghancuran lahan pertanian mereka oleh penjajah Yahudi di Tepi Barat, blokade ekonomi penjajah yahudi terhadap lebih dari satu juta warga Muslim dan seterusnya adalah kejahatan-kejahatan terorisme.
Setiap hari seluruh dunia melihat dan mendengar langsung semua kejahatan terorisme penjajah Yahudi di Palestina tersebut. Negara-negara Asia dan Afrika dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 telah mengutuk keras penjajah Yahudi tsb sbg imperialis keji. Misi kemanusiaan kapal Mavi Marmara yang berusaha menembus blokade penjajah Yahudi terhadap Gaza ternyata beranggotakan banyak warga negara Barat sendiri. Itu bukti tak terbantahkan bahwa penjajah Yahudi adalah teroris sejati, gembong teroris, tidak berperi kemanusiaan dan tidak berperi keadilan, serta penjajahan yang harus dihentikan kejahatannya; tidak saja menurut ajaran agama Islam, namun juga menurut akal sehat dan hati nurani banyak warga Barat non-Muslim sendiri.
Bukankah lebih tepat apabila ketiga ulama Timteng tersebut mendatangi pemerintah penjajah Yahudi, beramar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka. Dan menasehati mereka untuk menghentikan penjajahan, teror, pembantaian, pengusiran, perampokan dan blokade mereka terhadap penduduk muslim Palestina? Bukankah penjajah Yahudi itu lebih berbahaya terhadap kaum Muslimin dan lebih dekat jaraknya dgn negara asal ketiga ulama Timteng tersebut? Bukankah penjajah Yahudi “Israel” hanya berjarak puluhan kilometer saja dari Mesir dan Yordan? Ataukah gajah di pelupuk mata tidak nampak, kuman di seberang lautan justru kelihatan? Siapa sebenarnya teroris, yang lebih dekat, lebih berbahaya dan lebih wajib dihentikan tindakan terorismenya? Butuh kejujuran dan keberanian memang untuk menjawabnya.
Kempat, sudah sama-sama diketahui bahwa sejak awal diproklamasikannya negara penjahah Yahudi di Palestina, Amerika Serikat adalah negara pengayom dan pelindung setianya. Amerika menggelontorkan bantuan ekonomi, politik dan militer dalam jumlah yang fantastis kepada negara penjajah Yahudi. Negara penjajah Yahudi adalah anak emas dan sekutu utama AS dan Barat di Timteng, itu sudah berita yang diketahui seluruh dunia. Para pemimpin Amerika dan Barat sendiri yang menegaskannya. Dan hal itu dibuktikan lewat kebijakan lapangan AS dan Barat dari dahulu sampai sekarang. Semua rancangan resolusi DK PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada penjajah Yahudi dimentahkan oleh veto AS dan sekutunya. Tegasnya, negara penjajah Yahudi adalah teroris kakap yang aman dan nyaman melakukan terorisme karena dilindungi oleh negara-negara penjajah dan teroris super kakap, AS dan Barat.
Kita layak mengajukan pertanyaan serupa kepada ketiga ulama timteng tersebut; Bukankah lebih tepat apabila ketiga ulama Tiimteng tersebut mendatangi pemerintah penjajah AS dan Barat, beramar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka, dan menasehati mereka untuk menghentikan dukungan, bantuan dan perlindungan mereka kepada negara penjajah teroris Yahudi?
Kelima, ketiga ulama timteng tersebut sering berbicara tentang Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mereka memaparkan seorang wanita pelacur yang diampuni Allah dan masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Sebaliknya seorang wanita masuk neraka karena mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan sampai kucing itu mati kelaparan.
Adalah benar Islam adalah rahmatan lil-alamin. Kedua hadits itu juga shahih, tercantum dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Pertanyaannya kemudian adalah, sikap pemerintah Mesir yang menanda tangani dan mengakui kedaulatan negara penjajah Yahudi lewat perjanjian Camp David; apakah itu bisa disebut sikap menyayangi jutaan kaum Muslimin Palestina yang dijajah, dibantai, diusir dan diteror oleh negara penjajah teroris Yahudi? Hubungan diplomatik pemerintah Mesir dan pemerintah Yordania secara resmi dengan pemerintah negara penjajah teroris Yahudi; apakah itu bisa disebut sikap menyayangi jutaan kaum Muslimin Palestina yang dijajah, dibantai, diusir dan diteror oleh negara penjajah teroris Yahudi? Dari sekian banyak negara Arab, hanya Mesir dan Yordania yg memiliki Dubes di Tel Aviv dan penjajah teroris Yahudi memiliki Dubes di Kairo dan Amman. Padahal ulama Al-azhar, ulama Palestina dan dunia Islam sejak 1930an telah memfatwakan haram bagi umat Islam palestina menjual tanahnya kepada Yahudi, sampai taraf hukum murtad bagi yang menjual tanah apalagi mengakui hak Yahudi untuk menjajah Palestina.
Sikap pemerintah Mesir yang membangun tembok beton utk mengisolasi Jalur Gaza dan menghancurkan lebih dari 80 % terowongan di perbatasan Mesir – Jalur Gaza yang selama ini menjadi satu-satunya jalur masuknya sembako dan obat kepada lebih dari satu juta kaum muslimin Jalur Gaza, apakah itu bisa disebut sikap menyayangi jutaan kaum Muslimin Palestina yang dijajah, dibantai, diusir dan diteror oleh negara penjajah teroris Yahudi?
Ketika pemerintah Mesir dan Yordania bersahabat dengan pemerintah penjajah teroris Yahudi; ; apakah itu bisa disebut sikap menyayangi jutaan kaum Muslimin Palestina yang dijajah, dibantai, diusir dan diteror oleh negara penjajah teroris Yahudi?
Bukankah lebih tepat apabila ketiga ulama Timteng tersebut mendatangi pemerintah Mesir dan Yordania sendiri, beramar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka dan menasehati mereka untuk menghentikan pengkhianatan dan kebiadaban mereka terhadap penduduk Muslim Palestina?
Keenam, ulama Timteng tersebut mengaitkan motif kedatangannya dengan peristiwa penyerangan terhadap polisi/tentara Mesir dan perusakan gereja yang terjadi hampir tiap pekan di Mesir.
Sungguh ajaib frame berfikir dan berargumen mereka; menyalahkan reaksi tanpa mau melihat aksi, menyalahkan rakyat yang dizalimi tanpa mencegah penguasa sekuler yang menzalimi.
Sudah umum diketahui bahwa di Mesir kelompok Jama’ah Jihad pada 1990 an melakukan konfrontasi dengan polisi dan tentara Mesir yang menjadi alat kekuasaan rezim sekuler husni mubarak. Langkah itu berubah total sejak Jama’ah Jihad oleh Amirnya Syaikh Aiman Az-Zawahiri melakukan fusi dgn kelompok Syaikh Usamah bin Ladin pada 1998, sehingga terbentuk kelompok Tandzhim Qa’idatul Jihad yang lebih populer dengan nama singkat Al-Qaeda. Al-Qaeda menahbiskan diri sebagai gerakan jihad global, dengan langkah utama memerangi penjajah salibis Yahudi, AS dan sekutunya yang menjajah Palestina, Afghanistan dan Irak. Sejak itu tidak ada lagi operasi serangan mujahidin Mesir yg menargetkan polisi dan tentara Mesir.
Saat militer Mesir dengan dukungan Barat, Yahudi, sekuler dan Kristen Koptik melakukan kudeta yang menggulingkan Presiden Muhammad Mursi, terjadilah demonstrasi besar-besaran menentang kudeta militer. Massa demonstran adalah rakyat sipil Mesir yang mendukung presiden Mursi. Secara biadab tentara dan polisi Mesir membubarkan demonstasi damai tersebut dengan kekerasan senjata. Militer Mesir menembak mati lebih dari 1000 demonstran sipil di Rabiah Square, Nahdah Square, Alexandria dan berbagai wilayah lainnya. Militer mesir membunuh ratusan massa demonstran yang menunaikan shalat subuh di Rabiah Square, mayoritas mereka adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Militer menyerbu rumah sakit lapangan, membakar jenazah para demonstran dan membunuh mereka yang cedera untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatannya. Militer Mesir melakukan operasi militer di Kairo dan Sinai. Rumah-rumah penduduk dan masjid-masjid di Sinai ancur dirudal oleh helikopter tempur Mesir.
Seluruh dunia menyaksikan hal itu, karena media massa dan media elektronik Mesir dan Internasional meliputnya. Tak heran apabila junta militer Mesir lantas memberangus kebebasan pers dan menyampaikan pendapat. Stasiun TV Al-Jazeera cabang Mesir dan TV-TV Ikhwanul muslimin dibredel dan ditutup dengan cara kekerasan. Ikhwanul Muslimin dinyatakan organisasi terlarang, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan diadili dengan tuduhan penggerak terorisme, demonstrasi anti kudeta militer dianggap kejahatan terorisme dan jam malam diberlakukan.
Meski militer dan polisi Mesir ganas melibas gerakan demonstrasi damai, Ikhwanul Muslimin tetap menempuh jalur damai. Jama’ah Anshar Baitil Maqdis, kelompok jihad di Sinai, yang merespon kebiadaban junta militer tersebut dengan gerakan jihad. Itupun dengan menargetkan petinggi-petinggi junta militer yaitu mentri dalam negeri, markas intelijen perang di Sinai dan Ismailiyah. Setiap kali melakukan operasi jihad, mereka selalu merilis pernyataan resmi tertulis atau video.
Di luar itu, serangan dan perusakan bisa diduga adalah operasi intelijen junta militer Mesir sendiri. Perusakan gereja misalnya, pihak gereja Koptik yang jujur pun telah menyampaikan bahwa pelakunya bukan orang Islam atau massa demonstran anti kudeta militer.
Atau pelakunya adalah intelijen penjajah Yahudi, kelompok nasionalis sekuler atau Kristen Koptik sendiri untuk mendapatkan simpati dan liputan Barat. Hal seperti itu bukan hal asing bagi Yahudi dan Kristen Koptik yang licik.
Sungguh aneh, ulama Timteng itu meributkan serangan terhada polisi/tentara atau perusakan gereja, padahal sangat mungkin pelakunya bukan umat Islam Mesir sendiri. Sungguh ajaib, mereka ramai membahas hal itu sampai di Indonesia, sementara mereka tidak membahas kebiadaban dan kejahatan junta militer yang tidak berperi kemanusiaan terhadap kaum Muslimin yang notabenenya warga negara Mesir sendiri.
Sekali lagi, kita sangat layak bertanya kepada para ulama Timteng tersebut. Bukankah lebih tepat apabila ulama Timteng tersebut mendatangi pemerintah Mesir sendiri, beramar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka dan menasehati mereka untuk menghentikan pengkhianatan dan kebiadaban mereka terhadap penduduk muslim Mesir? Siapa yang sebenarnya teroris; junta militer Mesir yg membantai ratusan warga Muslim Mesir tak berdosa ataukah Mujahidin Anshar Baitil Maqdis yang menyerang pejabat junta militer demi membela ratusan kaum Muslimin jelata yang dibantai secara biadab? Jika tidak ada api, mungkinkah ada asap? Jika junta militer Mesir tidak membantai ratusan Muslim Mesir yang tak berdosa, bukankah Anshar Baitil Maqdis akan fokus melawan penjajah teroris Yahudi saja?
Banyak pertanyaan lain yang bisa kita ajukan kepada ketiga ulama Timteng tersebut, namun setidaknya pertanyaan-pertanyaan di atas bisa menjadi renungan bagi kaum Muslimin secara umum. Kita tidak hendak mendiskreditkan ulama, namun kita harus bersikap kritis dan obyektif. Selain itu, ulama dituntut untuk bersikap jujur, amanah, tulus dan obyektif. Wallahu a’lam bi shawab. (arrahmah.com)