SURAKARTA (Arrahmah.com) – Umat Islam hanya mau sholat Jumat dan doa bersama untuk peduli Rohingya di Masjid An Nur Magelang Jumat (8/9/2017), namun polisi menghalanginya. Ya, terbukti polisi Indonesia menghalangi. Apa alasannya? “Perintah atasan”, hanya begitu kata mereka.
“Serasa di Palestina, polisi Indonesia memeriksa semua yang akan shalat Jumat di Masjid An Nur Magelang. Lengkap dengan metal detektor pula. Serasa akan masuk Masjid Al Aqsha dan berhadapan dengan aparat Zionis Yahudi,” demikian keluh warga via medsos.
Berikut catatan The Islamic Study and Action Center (ISAC) terkait hal itu yang diterima redaksi, Ahad (10/9).
Beredar undangan lewat group-group WhatsApp (WA) dan Facebook bahwa akan diadakan Solidaritas Peduli Rohingya di Masjid An Nur Sawitan Borobudur Magelang pada hari Jumat tanggal 8 September 2017 agenda sholat Jumat berjamaah, Tausyiah, doa dan Penggalangan Dana
Dalam Broadcast (BC) juga disebutkan ormas Islam pendukung acara ini ada 213 elemen tertulis dalam BC ini terdapat elemen muslim dari Jateng, DIY, JABAR, maupun DKI
Pengamanan berkekuatan sekitar 2500 personel berhasil mengamankan acara tersebut, jauh dari anarkisme ataupun huruhara namun disebagian peserta dibuat tidak nyaman dengan sikap sebagian polisi yang menahan perjalanan peserta, mengamankan bendera tauhid hingga hingga memblokade jalan menuju masjid An Nur Magelang
Pada dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
3. Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
4. Pasal 22 UU HAM
“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sementara itu bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. “pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;
2. “upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu;
3. “upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.
Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh negara
Belajar dari pengamanan kegiatan 411 dan 212 di Jakarta, pengamanan aksi 8 September 2017 (Aksi 809) seolah terulang lagi bahkan lebih ketat. Bisa dikatakan peserta kali ini lebih heroik.
Sepenggal kisah bahwa ada peserta harus terpaksa jalan kaki, susur sungai, lewati jembatan setapak, jalan tikus, merasakan pemeriksaan metal detektor, hingga harus tiba di lokasi sehari sebelumnya. Ada juga yang kecewa harus pulang kerumahnya ataupun mengalihkan acara ke wilayahnya masing-masing.
Bahkan ada kesan dari peserta bahwa aksi kali ini mirip peristiwa di Palestina ketika umat Islam harus berhadapan dengan tentara Israel di kompleks masjid Al Aqsha
Spirit umat akan kekuatan aqidah dan ukhuwah Islamiyah terbukti mampu menjangkau jarak, ruang dan waktu
Harus jujur, jawab pertanyaan ini dengan jernih?
1. Apa yang salah ketika ada Taushiah solidaritas Rohingya dan istighosah di lakukan di masjid An Nur? Sedangkan panitia sudah diijinkan untuk menggunakan fasilitas Masjid tersebut dari Pemda dan juga sudah melayangkan surat pemberitahuan ke Kapolri?
Sedangkan dalam undang undang, kegiatan di masjid ataupun tempat ibadah lainnya tidak perlu ijin atau pemberitahuan ke Polri?
Terimakasih Polri yang telah melaksanakan fungsinya sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat dan jangan sampai berbuat melampaui kewenangan
Solo, 10 September 2017
The Islamic Study and Action Center (ISAC)
Ketua HM. Kurniawan BW, S.Ag; SH; MH
Sekretaris Endro Sudarsono, S.Pd
(azmuttaqin/arrahmah.com)