(Arrahmah.com) – Jabhah Nushrah – Entah sisi mana yang harus dikomentari. Semua bagiannya menarik. Sosok yang selama ini misterius, tiba-tiba muncul wajahnya. Ya, wajahnya. Ini yang paling ditunggu. Soalnya tahun lalu ia baru nyicil; punggungnya. Laksana satrio piningit dalam mitologi Jawa yang ditunggu kehadirannya sebagai juru selamat.
Baru beberapa jam ditayangkan Youtube, ribuan pasang mata dengan antusias melihatnya. Ada yang penasaran sekedar ingin tahu wajahnya, karena dalam wawancara tahun lalu ia membelakangi kamera. Ada yang ngebet ingin tahu untuk kemudian mengulik sisi negatifnya lalu melakukan jurus bully sebisanya.
Agaknya tipe ini mewakili anak-anak ISIS yang tak akan lekang dendam mereka kepada JN meski berubah nama. Untuk AS, mereka senang bukan kepalang karena bisa mengidentifikasi wajahnya gratis tanpa repot, untuk kemudian memburunya dengan drone.
Abu Muhammad Al-Jaulani, nama yang sudah lama familiar di kalangan jihadis, dan tenar di kalangan disjihad (baca; anti jihad). Jika menilik pada kiprah jihad dan popularitas namanya di kalangan kawan maupun lawan, tak menyangka ia masih begitu muda; wajahnya segar, tampan, dengan rambut dan jenggot hitam legam.
Wajahnya putih bersih, memancarkan kelembutan, low profile, bersahabat dan teduh. Tak ada garis wajah sangar bak preman, bertolak belakang dengan stigma gembong teroris yang disematkan Barat untuknya. Tutur katanya santun, ramah dan tidak meledak-ledak.
Bahkan sorot matanya tidak tajam laksana elang, dan gerak geriknya juga tidak agresif yang karenanya cocok disebut teroris. Gayanya yang cool mengingatkan pada sosok Osama bin Laden.
Dan yang menarik, ia muncul mengumumkan perceraian: Jabhat Nusrah (JN) pisah resmi dari induknya, Al-Qaeda. Sebagai pengganti, diumumkan nama baru; Jabhat Fath Syam, front pembebasan syam.
Pengumuman nama baru dan kemunculannya di media memberi pesan bahwa Al-Jaulani kini menjadi sosok pemimpin baru yang merdeka dalam membuat kebijakan di Suriah tak lagi terikat arahan dari Al-Qaeda pusat.
Baca juga: Jabhah Nushrah resmi memisahkan diri dari Al Qaeda dan bentuk faksi baru
Resiko di Balik Restu
Kemunculan Al-Jaulani dalam rekaman video pada 28 Juli 2016 itu membawa banyak pesan lain. Untuk AS, Rusia dan para pengeroyok rakyat Suriah, mengirimkan pesan; inilah wajahku yang selama ini kalian cari!
Ini jelas tamparan keras untuk AS, yang belum lama berhasil mengeksekusi Mullah Akhtar Manshur, pimpinan Taliban Afghanistan dengan mengirimkan drone yang menghajar mobilnya. Bukannya para tokoh jihad sibuk ngumpet, eh malah bermunculan.
Sebelumnya Al-Jaulani menjadi sosok misterius, yang dengan leluasa hadir bersama mujahidin Suriah di berbagai front tapi tak ada yang menyadari kecuali lingkaran terdekat. Sesaat setelah muncul di media, banyak mujahidin Suriah yang kasak-kusuk sesama mereka; rupanya dia orangnya, padahal sering terlihat di berbagai tempat.
Tentu pasca kemunculannya di media, dengan kualitas gambar yang bagus, Al-Jaulani tak akan melakukannya lagi. Ia akan seperti Aiman Ad-Dhawahiri yang rajin muncul di media tapi tak ada yang tahu di mana berada. Peristiwa yang dialami Mullah Akhtar Manshur cukup sebagai pelajaran. Bukan karena takut mati, tapi biar AS makin mumet meski menang secara teknologi.
Al-Jaulani sadar tak bisa mencitrakan dirinya terus misterius di tengah dinamika faksi-faksi perlawanan yang harus menyapa dan menjembatani persatuan. Masing-masing faksi harus jelas siapa pemimpinnya, dari mana berasal, dan bagaimana track recordnya. Meski jika sedang koordinasi dengan faksi-faksi tak harus Al-Jaulani sendiri yang datang, bisa mewakilkannya kepada orang lain.
Kisah pisahnya JN dari Al-Qaeda bertolakbelakang dengan kasus lepasnya ISIS dari induk yang sama. ISIS melepaskan diri secara sepihak, dengan jumawa tanpa etika dan akhlaq Islam. Bukan hanya menyatakan lepas, bahkan mengultimatum induknya, Al-Qaeda, untuk tukar posisi; berbaiat kepada ISIS sebagai pengikut.
Lalu berlanjut dengan menyebut tokoh-tokoh Al-Qaeda sebagai murtad karena menurut mereka tidak bara’ total kepada rejim-rejim yang ada. Kalimat ringkas menggambarkannya kelakuan ISIS; kurang ajar!
Sementara JN melakukannya dengan syura bersama tokoh-tokoh Al-Qaeda disertai etika dan akhlaq karimah. Karenanya Al-Qaeda merestui, terbukti dengan munculnya komentar Aiman Dhawahiri yang memberi kebebasan JN untuk mengambil keputusan sesuai kebutuhan realita di Suriah dengan mempertimbangkan maslahat umat lebih luas.
Secara resmi juga memberi restu melalui pernyataan yang dibacakan oleh Ahmad Hasan Abu al-Khair, orang Mesir yang menjadi deputy Aiman Dhawahiri, sehari sebelum publikasi pengumuman Al-Jaulani.
Dengan modal restu sesepuh, perjalanan JN di belantara jihad Syam diharapkan lebih mulus dan penuh barakah. Tak ada laporan soal anggota JN yang terguncang dengan pemisahan ini. Demikian pula dengan faksi-faksi mitra di lapangan, mereka menerima dengan tangan terbuka kehadiran JN baru.
Misalnya faksi Ahrar Syam, yang segera memberikan ucapan selamat dan mendukung perpisahan JN dengan Al-Qaeda. JN menjadi anak baik, berbakti kepada orang tua dan tahu terima kasih, mirip dengan seorang anak yang dilepas orang tuanya dengan doa restu sebelum berangkat merantau.
Sementara ISIS berpisah laksana si Malin Kundang yang durhaka dan tidak mengakui ibunya sendiri.
Top Level Maturity on Tandhim
Sikap legowo Al-Qaeda dalam melepas salah satu cabangnya memberi pelajaran berharga. Al-Qaeda sudah sampai pada top level maturity dalam menyikapi jamaah atau tandhim. Jajaran pimpinan hingga anggota paling rendah sudah terdidik untuk memandang jamaah Al-Qaeda hanyalah sebuah nama untuk kerangka manajemen dan administrasi, bukan nama untuk sebuah loyalitas buta dan lambang jumawa.
Pemahaman seperti ini untuk tataran organisasi dengan nafas spiritual atau politik masih sangat langka, meski untuk tataran organisasi bisnis hal jamak. Organisasi bisnis akan dengan mudah membuat perusahaan baru jika ada tuntutan situasi dan kondisi.
Bank konvensional ketika membuka cabang Syariah lalu makin berkembang akan melakukan spin-off alias pemisahan total baik manajemen maupun aset. Sementara dalam dunia politik dan spiritual, belum pernah terdengar istilah spin-off. Perpisahan PDIP dari PDI di akhir rejim Soeharto disertai konflik panas dan berdarah antara kubu Megawati melawan Soerjadi.
Al-Qaeda adalah organisasi politik-spiritual dengan bidang kerja jihad dan perlawanan. Jihad mengikuti karakternya yang rumit memerlukan organisasi solid untuk mengelolanya. Unsur terpenting soliditas organisasi adalah loyalitas anggota, dalam kondisi susah atau senang, bahkan saat nyawa terancam. Ditopang manajemen kuat, administrasi rapi, dan disiplin kerja. Membangun budaya organisasi seperti ini tidak mudah, perlu ketekunan dan kerja keras panjang.
Nah saat Al-Qaeda sudah menikmati ini semua, sebuah pencapaian luar biasa bagi Al-Qaeda untuk berani legowo salah satu cabangnya melepaskan diri, untuk menjadi unit kerja mandiri sama sekali terpisah dari induknya.
Pada sisi lain, perceraian ini juga bisa menjadi semacam jawaban riil atas tuduhan kaum Salafi Tahdziri yang menganggap jamaah (tandhim) adalah bid’ah. Alasannya simpel, sebuah jamaah niscaya melahirkan ashabiyah (fanatisme kelompok). Alasan kedua, jamaah hanya ada dalam tataran khilafah.
Apa yang dilakukan Al-Qaeda dan JN dengan menyatakan resmi pisah, ini menunjukkan mereka bertandhim dengan dewasa, tak ada syubhat fanatisme kelompok. Mereka bisa dengan mudah melepas baju tandhim jika tuntutan situasi dan kondisi mengharuskannya.
Perpisahan ini tentu banyak kerugiannya jika memakai tolok ukur politik nafsu duniawi. Sudah pasti jumlah anak buah berkurang secara drastis, apalagi cabang Al-Qaeda di Suriah termasuk yang paling produktif merekrut anggota baru sebagai imbas situasi perang yang mencekam. Jika diibaratkan lengan, salah satu lengan penting Al-Qaeda copot. Ini berarti kekuatan Al-Qaeda juga akan pincang.
Tapi kalkulasi untung rugi politik duniawi itu dengan legowo dikalahkan oleh pertimbangan nasib umat Islam Suriah. Jika copotnya JN dari Al-Qaeda adalah harga yang harus dibayar untuk kemaslahatan umat, mereka dengan ringan akan menunaikannya.
Al-Qaeda tercelup kalimat bijak tokoh pendiri, Osama bin Ladin; maslahat umat didahulukan dari maslahat negara, dan maslahat negara didahulukan dari maslahat organisasi.
Menghilangkan Justifikasi Serangan
Ketika kekacauan melanda Suriah, rakyat muslim teraniaya sedemikian rupa, maka satu-satunya maslahat yang harus dimenangkan adalah nasib umat. Rentang masa lima tahun bukan sebentar untuk menanggung derita perang. Mereka harus diperhatikan, dibantu dan dibela dari semua kedurjanaan yang menimpa mereka.
Salah satu dalih naif yang dipegang AS dan kekuatan-kekuatan durjana dunia dalam menghukum rakyat Suriah adalah keberadaan kelompok yang berafiliasi terhadap organisasi teroris Al-Qaeda.
Dalih ini menjadi pembenar untuk serangan AS terhadap target mana saja di tanah Suriah, karena selalu alasannya menyasar kelompok teroris. Padahal kenyataannya, korban serangan ini selalu masyarakat muslim Suriah yang tak tahu menahu masalah.
Dalam rangka menghilangkan dalih inilah Al-Qaeda merestui JN melepaskan diri dari Al-Qaeda dan merilis nama baru, Jabhat Fath Syam (Front Pembebasan Syam). Ya, jangan salah baca, hanya menghilangkan dalih atau alasan AS untuk menyerang.
Sebab para tokoh Al-Qaeda sadar sepenuhnya, ada atau tidak ada kaitan, AS, Rusia dan lain-lain akan tetap menyerang sasaran masyarakat Suriah. Tapi setidaknya setelah dalih ini dihilangkan, para penyerang bisa dipermalukan; jadi apa sesungguhnya alasan Anda menyerang warga Suriah ketika yang Anda cari sudah putus hubungan dengan teroris?
Ini kan sekedar jurus bully untuk menunjukkan kepada dunia siapa yang zalim dan siapa yang teraniaya. Masalahnya adalah AS, Rusia dan para pengeroyok rakyat Suriah sudah bermuka tembok, tak mempan bully dan tak punya lagi jiwa kesatria.
Perang mereka adalah perang kotor sama sekali tak mengindahkan etika. Mereka mati gaya dalam melawan teroris tapi melampiaskan kekesalannya dengan amukan brutal yang penting memuaskan dendam kepada masyarakat yang tahu menahu duduk perkaranya.
Sikap AS ternyata juga tak meleset dari prediksi para tokoh Al-Qaeda. Terbukti sehari setelah Al-Jaulani tampil, AS membuat penyataan resmi bahwa perpisahan ini tak memberi pengaruh apa-apa, AS masih tetap menganggap JN sebagai bagian dari Al-Qaeda, apapun nama penggantinya dan meski menyatakan berpisah.
Rupanya dendam kesumat telah merasuk hingga tulang sumsum AS, tidak cuma mendarah daging. Terbukti sudah, yang dimusuhi bukan nama organisasi, tapi ibadah jihad yang diusung. Agar kabut masalah bisa tersingkap, dan masyarakat dunia bisa mengambil sikap didasari pertimbangan yang gamblang.
Perceraian Untuk Perkawinan
Persetan dengan reaksi AS, toh Al-jaulani dan para mujahidin Suriah tidak berkerja untuk mencari restu AS si dungu yang belagu. Perceraian ini lebih ditujukan kepada internal masyarakat Suriah.
Jika mereka selama ini masih setengah hati untuk menerima JN sebagai bagian dari unsur bumiputera disebabkan hubungannya dengan Al-Qaeda, kini diharapkan mereka lebih legowo dengan menerima sepenuh hati. Agaknya tujuan itu berbuah manis, setidaknya dengan pernyataan dari Ahrar Syam di atas.
Nasib JN kini menyatu dengan nasib rakyat Suriah, terutama faksi-faksi perlawanan yang mengusung jihad. Penderitaan, tangisan, kekalahan, kesedihan atau kemenangan menjadi milik bersama. JN bukan lagi berstatus muhajirin, tapi sudah menjadi anshar, sudah menjadi pribumi. Senasib sepenanggungan.
Ketika kaum Anshar merasa risau dengan perlakuan Nabi yang memberi banyak rampasan perang Hunain kepada tokoh-tokoh Makkah yang baru masuk Islam, salah satu yang mereka khawatirkan adalah Nabi saw akan kembali ke Makkah dan meninggalkan kaum Anshar.
Kekhawatiran beralasan, sebab ‘ibukota’ Arab kala itu adalah Makkah dan sudah dalam keadaan takluk. Suasana hati ini membuat Rasulullah saw mengeluarkan pernyataan yang gamblang kepada kerumunan kaum Anshar agar mereka tenang bahwa Nabi saw tak akan ke mana-mana, tetap bersama penduduk Madinah. Mereka dikumpulkan oleh Rasulullah saw lalu beliau menyampaikan klarifikasi kebijakan Nabi saw tersebut. Nabi saw bersabda di hadapan mereka:
“Apakah kalian iri ketika mereka pulang dengan membawa kambing dan onta, sedangkan kalian membawa Rasulullah ke kampung halaman kalian. Kalau bukan karena aku ditaqdirkan hijrah, tentu aku memilih menjadi Anshar (penduduk Madinah). Kalau sekiranya aku bisa memilih; ada rombongan menempuh satu lembah sementara kaum Anshar melewati lembah lain, tentu aku akan memilih berjalan bersama rombongan Anshar….” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keputusan JN lepas dari Al-Qaeda yang dianggap unsur luar dalam jihad masyarakat Suriah melawan rejim Bashar Asad, dilandasi keinginan untuk menenangkan hati masyarakat perlawanan. Dan jaminan ini harus diumumkan secara terbuka sebagai suatu pernyataan komitmen yang suatu saat bisa ditagih jika tak ditepati. Semacam kontrak politik terbuka.
Fase Merebut Kemenangan
Pilihan nama Jabhat Fath Syam (Front Pembebasan Syam) sebagai pengganti Jabhat Nusrah menyiratkan pesan optimisme. Setelah lima tahun mereka berjibaku untuk melakukan pertolongan (nusrah) terhadap penduduk Suriah, kegiatan ini bersifat defensive. Masyarakat teraniaya oleh kebrutalan rejim Bashar, tak ada penguasa muslim baik Arab maupun non Arab yang tergerak membantu. Tak ada seorangpun tentara regular dari negara-negara tetangga yang dikirim untuk membantu rakyat Suriah.
Entah karena tak ada keinginan untuk membantu, terhalang oleh konstitusi negara, atau tak berani melangkahi para tuan; AS dan Eropa. Semua kemungkinan itu berujung pada satu kesimpulan; mereka – penguasa dan tentara muslim itu – hanya buih yang tak berguna. Keberadaan mereka tak sedikitpun membuat nestapa beranjak dari bumi Suriah.
Sadar akan situasi ini, Al-Qaeda dengan antusias dan rasa cinta yang tinggi terhadap umat Islam, membentuk satuan tempur untuk menolong rakyat Suriah. Dipilih nama yang sesuai, Front Pertolongan (jabhat nusrah) sesuai tuntutan kebutuhan saat itu, masyarakat menjerit minta tolong.
Al-Qaeda dengan mudah mengirim kader-kadernya karena memang tak terikat dengan belitan-belitan pelik dalam dunia politik internasional. Mereka hanya perlu melewati satu masalah, bagaimana cara menembus perbatasan Suriah. Maklum, kebanyakan kadernya bukan orang aman yang dengan leluasa bisa bersafari ke mana suka.
Satuan ini dipimpin oleh Abu Muhammad Al-Jaulani, yang memang pribumi Suriah tapi sudah punya cukup pengalaman dalam perang. Jumlah kader yang dikirim tak ada datanya. Lambat laun mereka bisa mengambil hati rakyat Suriah karena bukti nyata pertolongan yang mereka berikan. Karenanya, jumlah anggotanya juga makin bertambah dari unsur masyarakat lokal yang simpati.
Lihat juga: Video: Jabhah Fath Syam menargetkan milisi Syiah di pedesaan Aleppo
Kini setelah lima tahun berlalu, mereka sudah lebih percaya diri. Fase jihad mereka bukan lagi defensive menyelamatkan rakyat dari amukan Bashar, tapi sudah pada tahap memukul balik dan merebut kekuasaan Bashar.
Selama lima tahun, kader-kader lokal sudah banyak yang terdidik dengan semangat, loyalias dan ketrampilan perang standar Al-Qaeda meski jumlahnya juga tak ada data resmi. Fakta ini agaknya turut mempengaruhi keputusan untuk pisah dari Al-Qaeda. Mereka sudah merasa saatnya tiba untuk disapih dari induknya.
Nama yang mereka pilih jelas menyiratkan optimisme itu, sebuah langkah lanjutan yang lebih maju dari fase sebelumnya, setidaknya mereka bisa ber-tafa’ul dengan nama tersebut. Keseriusan mereka melebur dengan faksi-faksi lokal diyakini akan melipat-gandakan kekuatan masyarakat Suriah sehingga lebih kuat.
Saat mereka berbentuk faksi-faksi mandiri saja sudah membuat Bashar kelimpungan, apalagi jika mareka bersatu. Jika fase menolong berlangsung lima tahun, bukan mustahil lima tahun lagi seluruh Suriah sudah bisa digenggam oleh mujahidin, dan nama Bashar masuk dalam kotak sejarah.
Dipandu Dengan Ilmu
Beberapa hari sebelum perceraian diumumkan, beredar foto beberapa ulama Syam berdiri rapi usai melakukan pertemuan. Rupanya mereka sepakat membentuk Persatuan Ulama Syam (tajammu’ ulama syam) yang bertujuan menjadi pengarah untuk masyarakat luas, penengah konflik sesama masyarakat termasuk antar faksi perlawanan, dan menjadi mahkamah acuan untuk semua jenis kasus hukum yang terjadi. Salah satu yang ada dalam foto itu, DR. Abdullah Al-Muhaisini, seorang akademisi Saudi yang menceburkan diri secara penuh dalam jihad Suriah.
Baca juga: Dukungan Persatuan Ulama’ Suriah tehadap Jabhah Fath Syam (JFS)
Perceraian JN dengan Al-Qaeda, dan masuknya mereka secara penuh dalam dinamika masyarakat Suriah, jelas menjadikan JN terikat dengan semua kebijakan positif yang ada. Jika sebelumnya mereka dikawal oleh tokoh-tokoh Al-Qaeda dari luar, kini mereka harus dengan legowo dipantau dan dikawal oleh Persatuan Ulama tersebut.
Ini menjadi eksperimen lain yang menarik, jamaah jihad dipandu dan diarahkan oleh para ulama secara penuh. Ini semacam pertaruhan, bahwa Al-Jaulani dan teman-temannya menjamin bahwa jihad mereka bukan jihad fanatik tapi jihad yang dewasa dan dipandu dengan ilmu.
Selama ini ada kesan, ulama berada di satu lembah, sementara mujahidin berada di lembah lain. Al-Jaulani ingin memberi pesan, kini saatnya jihad dan ilmu terbukti indah bila dirangkai menjadi satu.
Jika ini berhasil, dampak positifnya luar biasa, masyarakat akan mendukung penuh dan berdiri bersama mereka. Termasuk ulama di luar Suriah akan mendukung. Masyarakat Arab dan para penguasa juga tak ada lagi haambatan untuk mendukung.
Intinya, pengumuman perceraian ini merupakan strategi cerdas yang dilandasi sifat tawadhu’, cinta umat, hormat kepada ulama dan mengamalkan sunnah syura yang merupakan mata air jernih peninggalan Islam. Bukan proklamasi naif ala ISIS yang heboh dan gegabah, dengan mengabaikan akhlaq dan syura.
Waktu yang akan memberi bukti, mana antara dua strategi ini yang lebih mendapat barakah Allah dengan kemenangan dan kejayaan. Wallahulmusta’an.
Bekasi, 31 Juli 2016
Sumber: elhakimi.wordpress.com
Judul asli: Bercerai Untuk Menang (Catatan atas Spin-off JN dari Al-Qaeda)
(elhakimi/arrahmah.com)